Diposkan pada Sebuah Cerita

Aku dan Penerbit

Gara-gara kemarin bicara soal penerbit di group chat, entah kenapa seharian aku jadi kepikiran.

Untuk beberapa menit pas ikutan ngobrol di sana, aku seperti menemukan diriku yang udah mati. Ralat, yang aku paksa buat mati karena aku pikir bagian diri aku itu udah gak berguna lagi.

Pertama kali aku mengetahui mengenai mekanisme menulis dan penerbitan itu sekitar umur tiga belas tahun. SMP. Sebelumnya aku cuma tahu aku suka menulis cerita dan gak tahu gimana caranya biar tulisan itu bisa dibaca orang. Dengan catatan, tanpa diketahui itu aku yang nulis, because man I’m so afraid of people’s judge. Aku pernah diketawain karena punya cita-cita jadi penulis dan itu membekas banget hingga aku beranjak remaja.

Aku berusaha bikin tulisan sebagus mungkin tiap tugas Bahasa Indonesia biar bisa mejeng di Majalah Dinding. Tapi gak pernah berhasil. Sedangkan kirim tulisan sendiri ke pengurus Mading itu aku masih takut dengan risiko diketawain.

Sampai akhirnya aku dapat informasi dari televisi karena film Eiffel I’m In Love booming, film itu diangkat dari novel dan penulisnya diundang di acara berita. Penulisnya nyeritain gimana awal mula tulisannya bisa terbit. Aku dapat inspirasi, ternyata tulisan itu dikirim ke Penerbit. Buat tahu alamat penerbitnya, harus pergi ke toko buku buat lihat-lihat sampul buku bagian belakang dan nemu alamat penerbit.

Alamak. Di kotaku gak ada toko buku.

Aku pergi ke Perpustakaan Kota, buku-bukunya jadul dan kurang update, tapi lumayan bisa buat aku praktek ngikutin tips itu. Aku nulis banyak alamat penerbit. Gak tanggung-tanggung, sasaranku adalah Gramedia Pustaka Utama.

Bukan tanpa alasan aku berani-beraninya mau kirim ke sana, karena memang buku di Perpus kebanyakan terbitan sana. Aku pergi ke warnet, dulu internet baru masuk sekolah dan lelet luar biasa. Jadi aku menyisihkan uang untuk pergi kesana cuma buat kirim e-mail ke Gramedia, tanya, gimana caranya buat kirim naskah tulisan ke sana?

Aku gak mungkin lupa gimana rasa senengnya saat beberapa hari kemudian aku berhasil ngumpulin uang buat ke warnet, dan dapet jawaban dari redaksi meskipun itu cuma informasi soal kriteria naskah yang mereka terima. Sampe pulang ke rumah pun tetep bikin senyum-senyum, ngelebihin dapat surat cinta.

Selama beberapa bulan, hampir satu tahun aku nulis cerita, menyisihkan uang untuk beli HVS buat nyetak naskahnya. Diam-diam kirim ke POS lewat temen karena gak mau ketahuan orang. Beneran udah kayak transaksi narkoba. Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Bapak POS datang ke rumah, diterimu Ibu. Matilah.

Ditanyain itu dokumen dari siapa. Aku gak jawab. Langsung lari ke kamar buat dapat buka dokumen yang di dalamnya ada naskah barengan sepucuk surat. Surat penolakan. Aku patah hati. Ku simpan naskah itu di meja paling bawah dan mutusin biar nulis cerpen aja biar cepet selesai dan gak modal terlalu banyak.

Tiap pulang sekolah, aku ke tempat jasa pengetikan buat nulis cerpen. Kalau di majalah ada sayembara aku ikut catet dan berusaha ikutan juga. Tapi ya gitu, belum pernah lolos.

Masuk SMK aku dapat ide menulis lagi, selama tiga tahun pelan-pelan aku selesaikan. Aku udah mulai bisa ke toko buku di kota sebelah. Kalau masuk ke sana, yang pertama dibaca bukan blurb buku, tapi alamat penerbit. Hingga akhirnya aku dapat target kedua, Gagas Media.

Saat itu aku udah kenal dengan facebook, diajak teman untuk menulis rutin halaman fanfiksi korea miliknya. Gak peduli aku belum hafal artis Korea, temanku cuma pengen halamannya rame. Hingga untuk pertama kalinya, aku merasakan bagaimana tulisan dibaca orang lain.

Meski hal itu tak menghilangkan mimpiku untuk bisa punya buku betulan.

Maka tepat sebelum aku perpisahan di SMK, aku mengirimkan naskah lagi. Bahkan kali ini ada dua, karena efek komentar dan semangat dari orang lain berhasil membuatku menyelesaikan satu cerita panjang di facebook, jadi cerita itu aku cetak dan menemani naskah yang kutulisa bertahun-tahun ke meja redaksi Gagas Media.

Tak perlu menunggu lama, aku dapat surat balasan lagi. Isinya penolakan.

Saat itu aku gak tahu jika tiap penerbit punya kriteria. Aku belum dapat ilmunya tentang naskah macam apa yang dicari tiap penerbit. Semua itu aku dapatkan justru saat aku sudah ada di bangku kuliah yang tak mempelajari sedikit pun tentang kepenulisan. Aku mencari sendiri, mengikut bedah buku, seminar sana sini, hingga akhirnya memutuskan untuk mencetak di Nulisbuku.

Tapi aku gak punya waktu untuk promo tulisan sendiri di Nulisbuku. Dulu sosial media belum menjadi tempat untuk berjualan. Jadi semua terbatas pada komunitas sendiri dan memang hasilnya nihil. Aku merasa aku tetap butuh penerbit. Maka aku beralih ke penerbit indie dan mencoba untuk mengambil paket penerbitan. Kusisihkan uang berbulan-bulan dan rela untuk hanya makan seadanya selama kuliah demi membeli paket penerbitan itu.

Aku punya satu naskah yang disukai pembaca di facebook, dan aku ingin menjualnya dalam bentuk buku. Siang malam aku mendesai cover sendiri, melayout bukunya sendiri, dan mengabaikan Ujian Tengah Semesterku hingga jatuh sakit. Hasilnya hanya terjual 20 eksemplar, dan 20 orang yang membeli itu aku doakan dalam diam semua yang terbaik di dunia ini, meski ada yang membelinya tidak dengan uang, melainkan dengan mochi. Tapi mereka adalah dua puluh orang terbaik yang membuatku merasakan hidupnya mimpi kecilku.

Meski hanya sebentar.

Karena kemudian penerbit itu memberitahu jika bukuku akan ditarik. Meski memiliki ISBN, tapi isinya fanfiksi. Mereka takut ada tuntutan hukum di kemudian hari.

Aku mengerti, dan menutup uforia singkat itu dengan sendu.

Aku kembali menulis sebuah naskah yang belum sempat kuselesaikan sejak Sekolah Dasar, rencananya untuk lomba. Tapi saat itu aku sudah semester akhir dan bahkan mulai berkuliah lagi di universitas berbeda. Takut gila, aku pun menghentikan penulisan naskah itu. Meski kemudian aku mencoba membuat usaha terakhir dengan menghubungi salah satu penerbit indie. Tidak tanggung-tanggung, mereka langsung memintaku bertemu.

Aku ingat, hari itu di Taman Topi, Bogor. Aku nekat pergi sendiri dengan naskah di tangan. Untuk pertama kalinya aku bertemu dengan seeorang yang merupakan editor dari penerbitan. Kami berbincang, dan semua pembicaraan itu bagai pil pahit yang mengubah perspektifku tentang dunia penerbitan.

Buku itu tidak cukup. Jualan buku aja gak bakal nutup biaya produksi. Penerbit gak cuma butuh naksah bagus, tapi penulis yang terkenal. Minimal, dia sudah punya nama dan pembacanya sendiri. Penerbit gak mau ngambil resiko dengan menerima naskah dari penulis yang gak punya nama karena biaya produksi itu gak murah.

Akhirnya aku pulang dengan naskah yang jadi saksi tangisanku sepanjang jalan pulang.

Aku berhenti menulis. Dan sempurna menutup usaha untuk mewujudkan mimpi itu.

Hingga akhirnya 2018 aku kembali ke dunia penulisan online. Agak terlambat karena wattpad tak lagi tren. Tapi saat itu aku hanya menulis, karena wow aku gak bisa gak nulis ternyata. Bertahun-tahun vakum dan hidup tanpa menjalankan hobi ternyata sukses membuatku merana.

Tapi salahnya, aku menulis fanfiksi.

Hal yang tak bisa dijual. Meski aku tahu di toko buku justru banyak buku yang pertamanya dipublish di wattpad yang terang-terangan memakai sampul wajah idola.

Jika saja aku menulis fanfiksi di wattpad beberapa tahun lebih awal, saat waktuku masih banyak dan penghasilan bukan hal yang harus kutanggung sendiri. Mungkin ceritanya akan berbeda. Di umurku sekarang, aku tak bisa lagi melihat tulisan sebagai kesenangan lagi. Tuntutanku banyak, kewajibanku banyak. Dia tak lagi cukup diselesaikan dengan menyisihkan uang jajan selama berbulan-bulan.

Tapi di sisi lain, aku sudah sangat lelah dengan penerbitan.

Meski mungkin aku masih membutuhkan.

Mungkin.

Diposkan pada Belajar, Sebuah Cerita

Gerilya : Sebuah Catatan Perkuliahan di Universitas Terbuka

Nama: Meilinda Rizky Putri Wandhani

Pekerjaan:

Mmm… pekerjaan?

Pekerjaan: Mahasiswa

Mahasiswa, aku suka pekerjaan itu. Maka setelah hampir tiga tahun setelah di wisuda, aku masih menuliskannya sebagai pekerjaan jika menulis formulir atau biodata apapun.

Lagipula aku tidak bohong.

Aku masih mahasiswa, hanya tak terlihat ngampusnya saja. Tak terlihat gedung kampusnya, kelasnya, dosennya.

Kuliah di Universitas Terbuka (UT) memang unik, dan membutuhkan kalimat efektif efisien yang berbeda dengan biasanya saat ditanya kuliah dimana? Karena tak semua orang tahu UT. Malah saat heboh kasus kampus bodong itu, orang-orang pada heboh ngobrolin UT, karena… ya… mahasiswanya ada tapi gak ada kampusnya.

Sayangnya menjelaskan UT itu gak mudah, dia bukan cuma kuliah online atau belajar jarak jauh. Ada banyak perbedaan dan keistimewaan dibanding universitas konvensional yang hanya bisa dirasakan saat kamu menjadi bagian dari UT langsung.

Jadi, aku akan membantu mengambarkan dengan mengurai cerita, mungkin saja ini bisa membantu untuk memberi penerangan ditengah stigma yang ada.  

Aku masuk UT pada Januari 2014 atau masa registrasi 2014.1. Dari sini saja UT sudah berbeda dengan Perguruan Tinggi lain, karena dia membuka pendaftara dua tahun sekali, yaitu pada awal (biasanya Januari) dan pertengahan tahun (biasanya Juli). Aku memilih program Non-Pendas alias non-keguruan dan Non-SIPAS atau tanpa paket. Jika yang mau kuliah di UT dengan rasa yang lebih konvensional, bisa memilih SIPAS. Per semesternya sudah ditentukan dengan lengkap, jadi mahasiswa tinggal cus ngikutin. Dengan memilih paket Non-SIPAS, maka semua terserah aku. Mau ambil berapa SKS per semester, mau ada tatap muka atau enggak, mau berapa tahun selesainya, pokoknya terserah, semua diprogram sendiri, yang penting tetep bisa menunjang proses pembelajaran.

Aku lalu memilih program studi Ilmu Komunikasi di Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP) -Dulu pas daftar masih FISIP, belum ada jurusan hukum-.

Saat mendaftar di UT, usiaku 21 tahun. Mungkin terlalu tua untuk daftar program S1 dengan menggunakan ijazah SMK. Tapi sebenarnya, statusku saat itu adalah mahasiswa semester enam di sebuah Akademi kedinasan. Dan gak ada batasan usia saat kamu mendaftar atau keluar di UT. Gak peduli berapapun usiamu, dan walaupun kamu lelet menyelesaikan kuliah kamu, kamu gak akan pernah di Drop-Out. Asal kamu kuat aja buat nyelesein kuliah.

Memulai semua dari nol saat kamu hampir selesai itu gak mudah. Ijazah SMK-ku adalah untuk jurusan Teknik Komputer Jaringan, pertama ia aku gunakan untuk belajar Manajemen Pemasaran di akademi, lalu kemudian aku gunakan lagi untuk menyebrang ke dunia ilmu sosial di UT. Banyak orang yang bilang sayang: buang tenaga, buang uang, buang waktu.

Dan itu benar. Hanya jika materi yang jadi ukurannya. Dan itu benar, hanya jika kamu tidak pernah merasakan pedihnya jadi ikan yang merasa bodoh karena tak bisa terbang setelah mempelajari berkali-kali.

Semester pertama, aku mengambil 18 SKS atau 6 mata kuliah secara acak. Ada yang mata kuliah untuk semester 6, semester 7, semester 3, seenaknya aja. Aku memilih mata kuliah yang kelihatannya seru dan bisa aku tangani dengan usaha minim, mengingat saat aku juga sedang menghadapi tugas akhir. Maka semester itu diisi tutorial online beserta tugas-tugasnya saat aku sedang praktik penyuluhan dan riset rencana usaha. Bahkan minggu-minggu UAS berada diantara jadwal bimbingan laporan penyuluhan. Aku takjub sendiri kalau inget masa-masa itu.

Karena saat UAS berarti saatnya keliling kota. Jarak UPBJJ (Unit Pelayanan Belajar Jarak Jauh) Jakarta di Rawamangun jelas jauh dengan kos-kosanku di Jagakarsa. Perlu perjalanan empat jam dengan busway untuk mengurus keperluan akademik selama lima menit (catatan: dulu belum ada transportasi online dan belum ada cetak Kartu Ujian online). Jadi total delapan jam jika langsung kembali ke kosan. Belum lagi mencari lokasi UAS-nya yang berpindah-pindah. Lokasi UAS pertamaku adalah di UNJ dan yang kedua di salah satu SMP(atau SMK?) di Jatinegara. Asyiknya(?), ada mata kuliah yang jam ujiannya adalah jam pertama alias pukul 7 pagi, jika terlambat, kamu gak bakal bisa masuk.

Aku cerita sedikit soal UAS ini dulu.
Jadi, di  UT gak ada UTS, tapi langsung UAS. Tugas tiap dua minggu sekali lewat Tutorial Online menurutku udah cukup bikin pening kepala. Karena gak ada gedung kampusnya, setiap UAS, UT bekerja sama dengan berbagai instansi untuk mengadakan Ujian, biasanya sekolah/kampus. Kamu bisa milih mau ujian di daerah mana saat kamu daftar. Tapi di instansi mana persisnya, itu akan tercetak di Kartu Ujian atau KTPU (Kartu Tanda Peserta Ujian). Di KTPU juga udah jelas jadwal pelaksanaan, nomor ruangan dan nomor duduk kamu.

Maka secara ajaib kamu yang berasal dari penjuru daerah manapun, akan bisa duduk buat ujian dengan soal dan lembar jawaban yang udah dicantumi nama kamu dengan tepat. Karena walau satu kelas bisa diisi dua puluh orang, kamu belum tentu bisa ketemu sama yang satu fakultas, satu jurusan, atau satu semester. Karena kalaupun itu sama, belum tentu saat itu kamu lagi menghadapi mata kuliah yang sama. Seperti waktu UAS pertamaku waktu itu, berhubung mata kuliahku acak-acak seenaknya, lembar soalku adalah Penelitian Sosial, sedangkan yang lain adalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam, walaupun kami sama-sama semester satu.

UAS tiap semester hanya dilaksanakan dua hari di hari Minggu, jadi gak bakal ngeganggu yang kuliah sambil kerja. Konsekuensinya, satu hari Ujian bisa berisi sampai lima mata kuliah. Full dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Aku pernah ngalamin ini loh, asli, bisa juga ngerasain muak sama buku.

Ok, kembali ke cerita saat aku UAS pertama kalinya dan harus masuk jam 7 di UNJ. Malemnya sehabis Isya aku langsung tidur, walaupun gak ngantuk, maksa aja. Berusaha gak kegoda ikut nimbrung ngobrolin soal bimbingan laporan penyuluhan temen-teman sekosan. Besoknya begitu adzan Subuh aku langsung berangkat, setengah lima dari kosan dan masih sempet-sempetnya baca modul dibawah penerangan angkot yang ngegoda buat tidur lagi. Karena ya, harus aku akui kalau kuliah sambil kuliah bikin aku keteteran baca modul. Begitu waktu UAS, masih banyak materi yang belum kebaca. Bad for me.

Oh ya, modul ini adalah alat bantu buat belajar para mahasiswa UT. Kamu bisa akses di ruang belajar virtual atau beli buku fisiknya lewat TBO Karunika (toko buku online milik UT). Tapi bagi aku, modul ini adalah bahan belajar utama. Aku gak punya waktu (dan kurang usaha juga) buat nyari materi lain di ruang belajar online UT atau media lain semacam radio/siaran televisinya. Jadi ya mau gak mau modul-modul itu udah jadi soulmate tiap semester, pengganti Dosen lah. Kemana-mana dibawa terus, ada waktu nganggur dikit lanjut baca. Apalagi kalau tebal modulnya gak kira-kira, bisa bikin kamus bermilyar kata minder. Jadi butuh waktu lama buat nyeleseinnya.
Waktu empat bulan kayaknya lama dan bisa cukup buat nyelesein, tapi kalau matkul yang kamu ambil satu semester itu ada delapan dan semua modulnya seserem itu? Bye.

November 2014. UAS semester kedua tempatnya kembali di daerah Utan Kayu Rawamangun sama salah satu daerah di Jakarta Timur. Kali ini acaranya berbarengan dengan wisuda di akademi. Maka aku harus merelakan gak ikut acara perpisahan dengan temen-temen di akademi dan ngekos sendiri di daerah Utan Kayu biar gak kesiangan saat UAS.

Sehari setelah UAS minggu pertama, aku wisuda. Dan saat itu aku masih sempetin bawa-bawa modul UT buat ujian di minggu kedua. Dan ujian itu adalah ujian terakhir aku di UPBJJ Jakarta. Karena setelahnya aku memohon ijin pindah ke UPBJJ Bandung. Aku udah gak tinggal di Jakarta setelah perkuliahan di akademi selesai, tapi meski begitu, kuliah di UT masih bisa jalan terus.

2015.1.
Aku masuk semester tiga, kali ini di UPBJJ yang berbeda dan tantangan yang berbeda. Aku mulai masuk kerja, dan… wow, ternyata aku lebih milih buat kuliah sambil kuliah dibanding kuliah sambil kerja. Bawa buku kemana-mana sambil ke lapangan, ngerjain tugas sambil jadi operator presentasi, nyuri-nyuri baca buku ditengah gaduh peserta pelatihan, bawa laptop saat nginep pelatihan buat ikut tutorial online, sampai nangkring di food court dengan tumpukan buku buat tuton demi wifi gratis saat uang honor gak turun. Mungkin kelihatan biasa aja, tapi semua itu diselipi stigma negatif lingkungan sekitar, rasa malu, rasa minder, takut ngelanggar etika, dsb dsb. Belajar di foodcourt dengan full musik dan riuh orang-orang itu rasanya gila loh. Apalagi di semester ini aku mulai ngambil matkul maksimal alias 8 matkul atau 24 SKS. Self management itu penting banget beneran, dan jujur sampai akhir aku belum bisa dengan serius ngejalananinya, jadi tiap mau UAS tetep keteteran baca modul. 

Padahal pernah loh, saat aku pergi ke belahan bumi lain yang beda zona waktunya, koperku isinya cuma modul, sama printilan lain yang bukan baju. Semua pakaian aku masukin ransel saking gak muat disana. Dilema sih, kalau gak bawa, aku perginya lumayan lama, jadi aku bakal ketinggalan tuton dan materi banyak kalau gak bawa mereka(?).

Di semester empat, 2015.2. Aku nyobain ngajuin beasiswa PPA ke UT. Alhamdulillah diterima. Sempet was-was sih karena muncul nilai C. Karena… yes, matkul Logika itu sulit, bukunya tebel, dan aku harus membagi pikiran dengan 7 matkul lain di waktu yang mepet. Aku dibuatin rekening sama UT dan uang PPA-nya ditransfer setelah aku konfirmasi ke UPBJJ. Alhamdulillah :’)

Beruntung, kali ini tempat ujiannya gak pindah-pindah dan gak terlalu jauh -walau jauh juga sih-. Tapi disini aku bisa pakai kendaraan sendiri dan ngebut dikit kalau kira-kira bakal kesiangan. Selain itu udah mulai ada cetak kartu ujian online, walau saat di semester ini aku masih manual pergi ke Tasik khususon cuma buat ngambil KTPU doang.

Di semester lima, 2016.1. Aku ternyata masih dapet rejeki beasiswa PPA. Tapi rasa jenuh mulai datang menyerang. Rasanya pengen libur dulu. Capek. Dengan kuliah tanpa tenaga tapi matkul tetep full 24 SKS, maka nilai C datang menghampiri lagi.

Di semester enam, 2016.2. Semua matkul inti tinggal beberapa, sebenarnya kalau mau bisa aja aku nyelesein semua dengan alih kredit beberapa matkul umum yang udah dipelajari di akademi. Tapi aku mutusin buat ambil lagi aja semuanya, karena matkul umum macam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, PAI, dsb, yang aku ambil di akademi ternyata cuma 2 SKS, sedangkan di UT 3 SKS. Jadi, ya udahlah. Aku ambil lagi. Semester ini gak akan aku lupain karena jadi momen aku suka sama BTS aku drop sebawah-bawahnya.

Aku kehilangan laptop di bus sepulangnya aku dari Jakarta. Uniknya, si pencuri gak cuma ambil laptop, tapi juga buku Pengantar Ekonomi yang lagi aku baca. Padahal itu belum aku baca semua dan UAS tinggal seminggu lagi. Alhasil, ditengah kesedihan (haha) aku mulai ngerangkum lagi semua materi (satu buku penuh) lewat Ruang Baca Virtual UT ditemani lagu-lagu BTS. Tapi asli loh, lagu Young Forever itu ngingetin aku sama momen dimana aku lagi ngerangkum di belasan lembar HVS sambil sedih-sedih ria mengenang masa muda, wkwk. Karena, yes, kata-kata di pikiran tentang “kamu udah 23 tahun dan kamu kehilangan banyak kesempatan karena belum nyelesein studi” itu terus menghantui di saat galau. Coba kamu langsung di jalan ini, gak usah bulak-belok, gak usah kesana-kemari, daaannn sebagainya. Tapi terus lagu itu bilang, selamanya kamu jadi anak muda, meskipun kamu jatuh dan melukai diri sendiri, kamu harus terus belari menuju impianmu. 

Kebetulan? Kayaknya enggak.

Akhirnya, 2017.1. Semester 7. Aku bisa ngambil Tugas Akhir Program ditambah beberapa matkul umum yang belum aku selesein. Kali ini aku udah gak kerja dan mutusin buat fokus buat Karya Ilmiah sambil ngelamar part time (tapi aku gak dapet, mungkin emang beneran harus fokus tuh beneran fokus). Terilhami apa yang aku alami di semester sebelumnya, aku mutusin ngangkat tema soal lirik lagu BTS jadi Karya Ilmiah, haha. Tapi aku gak fangirling-an loh, itu asli ilmiah dan aku berusaha objektif ngelihat lirik lagu berbahasa Korea yang mencoba mengomunikasikan sesuatu ke pendengar lagunya.

Tapi itu berhasil.

Maksudku, kamu gak paham bahasa Korea tapi kamu bisa ngerasain apa yang sedang dicoba buat dikomunikasikan sama isi lagu itu. Yup, musik adalah bahasa universal, tapi aku lebih nyorotin ke liriknya, dan bingkai dalam sudut pandang komunikasi antarbudaya. Seriusan, aku gak pernah se-enjoy itu nulis sesuatu yang berat macam Karya Ilmiah. Sampai orang-orang taunya aku pusing karena soal ujian masuk BPJS daripada lagi nulis tugas akhir.

Nah, ini bedanya lagi di UT. Kamu gak skripsian. Gantinya, kamu harus nulis Karya Ilmiah yang peraturannya disesuaikan dengan jurusan masing-masing. Kalau udah, tinggal unggah di situs UT. Karya Ilmiah itu ngasih bobot ke nilai kelulusan barengan sama TAP atau Tugas Akhir Program. Karena aku ngambil TAP sambil kuliah juga, maka sebelum TAP aku tetep UAS kayak biasanya. Ngebut banget lah.

TAP lalu dilaksanakan sebulan -atau dua minggu ya- kemudian. TAP itu semacam ujian komprehensif. Tapi gak teoritis, kamu dikasih soal berbentuk studi kasus, dan kamu harus mecahin studi kasus itu dengan teori-teori yang udah kamu pelajari selama kuliah. Jadi kamu tahu ilmu yang kamu pelajari itu aplikasinya kayak apa di kehidupan nyata. Berhubung aku mempelajari ilmu sosial, sebenernya ngelogikainnya lebih mudah sih. Cuma kalau kamu jawab cuma pakai logika tanpa teori yang memadai, tetep aja nilainya jelek. Seingatku, saat TAP, cuma aku yang close book, karena ternyata aku sendirian dari Ilmu Komunikasi, huhuhu.

Dan kesendirian ini tetep berlangsung sampai aku wisuda kemarin. Aku satu-satunya dari Ilmu Komunikasi dari UPBJJ Bandung yang wisuda di UT Pusat.

Sebenarnya soal wisuda ini aku merasa butuh tulisan berbeda, tapi aku gak yakin bisa memenuhi niat itu atau enggak, jadi ayo selesaikan sekarang juga.

Soal wisuda di UT juga berbeda. Hanya karena UT gak ada gedung kampusnya, banyak orang yang gak ngeh soal keberadaan Perguruan Tinggi ini. Padahal mahasiswanya sangat banyak, di seluruh Indonesia dan juga beberapa negara lain macam Arab Saudi, Hongkong, Taiwan sampai Korea Selatan. Megakampus disebutnya juga. Makanya dalam setahun UT bisa ngadain wisuda sampai empat kali.

Dan yah… gratis. Aku gak bohong. Aku aja kaget. Wisudanya gak bayar. Di LIP-nya 0 rupiah. Dibilangnya udah dibayar pas masa pendaftaran. Padahal seingatku pas daftar aku cuma bayar buat SKS. Gak ada uang pendaftaran, gak ada uang bangunan (lah gak ada gedung kampusnya), gak ada uang lain-lain. Paling beli baju almamater doang. Dan padahal yang lain, biaya per SKS-nya itu murah banget loh, seriusan. Cek aja dan bandingin sama di Perguruan Tinggi lain. Paling mahal aja 41.000 (gak tahu kalau sekarang naik)/sks. Jadi kalau mau ambil satu matkul dengan 3 SKS, kamu cuma bayar 123rb. Dengan 123 ribu maka kamu udah bisa jadi mahasiswa UT, nak. Mungkin karena memang tujuan UT sebagai pendidikan tinggi jarak jauh adalah menjangkau siapa saja yang mau terus belajar tanpa batasan geografis.

Wisuda bagi mahasiswa UT yang kepanggil buat wisuda di UT Pusat punya banyak arti. Pertama, bisa lihat gedung UT yang super gede dan megah. Akhirnya bisa lihat gedung akademik fakultas yang bertingkat-tingkat, gedung rektor yang menjulang, gedung wisma UT yang ngalah-ngalahin hotel, gedung convention center yang super memadai. Semua jadi berasa wah-nya, karena kita kebiasa numpang di gedung orang lain buat ujian.

Apa coba yang mancing perhatian? Mesjidnya. Dia ada di paling depan deket parkiran, terasnya luas dan tiap tiang ada stop contact-nya. Tiap tiang pasti ada ‘pemilik’nya, mereka yang lagi duduk nyender sambil nge-charge hp, wkwk. Pengertian banget. Seakan tahu kalau orang-orang yang datang dari berbagai daerah buat ikut acara wisuda itu bisa dateng jam berapa aja. Jadi bisa nunggu disana dengan nyaman.

Kedua, kita akhirnya bisa ngelihat langsung wajah Rektor, Dekan, Dosen, Staf UT yang selama ini cuma kelihat foto sama kebaca namanya doang. Juga, bisa ketemu langsung sama mahasiswa lain yang cakupannya lebih luas dari sekedar pas UAS. Karena mereka diundang dari semua UPBJJ seluruh Indonesia bahkan ada yang dari luar negeri.

Ketiga, bisa ngerasain ‘kuliah’ untuk pertama dan terakhir kalinya di gedung sendiri. Mungkin ini gak bisa relate ke semuanya ya. Karena bagi yang suka TTM alias kuliah tatap muka, mereka udah biasa. Tapi bagi aku yang cuma lewat tutorial online, acara seminar sehari sebelum wisuda itu berkesan lah. Aku juga salut loh UT ngadain seminar sehari sebelum wisuda, disebutnya sebagai pembekalan buat wisudawan. Asyik ya. Gratis lagi.

Keempat, aku bisa langsung dapet Ijazah. Ini adalah pembeda terbesar dan paling aku syukuri. Kalau di kampus lain wisuda hanya sekedar seremoni, di UT adalah sebenar-benarnya ‘perpisahan’. Semua hal yang pernah diceritain ibuku soal wisuda UT akhirnya bisa aku lihat langsung. Walau aku sempet heboh karena teledor gak bawa nomor foto, ternyata panitianya tetep nyusurin ke barisan wisudawan buat nanya siapa yang belum dapat nomor. Berhubung kita gak saling kenal dan jumlah wisudawan super banyak (kalau gak salah waktu di UT Pusat itu 1300 orang, belum yang di wisuda di UPBJJ masing-masing) jadi foto akan dicocokan berdasarkan nomor. Aku gak tahu ini nasibnya gimana karena nomornya beda wkwkwk.

Dan, acara wisudanya asik banget. Gak ngebosenin. Pas kamu masuk ke UTCC, di tiap kursi udah ada tas berisi air minum dan snack, jadi kamu gak bakalan kelaparan. Buat selingan acara pemanggilan wisudawan untuk bersalaman dengan Rektor(?), ada hiburan dari paduan suara sampai muter video testimoni yang direkam saat gladi bersih. Lucu karena nampilin banyak ekspresi wisudawan yang aneh-aneh. Seru lah. Belum lagi nyanyi-nyanyi barengnya. Nah, pas kita baris buat dikasih selamat sama Rektor itu kita bakal jalan dulu ke lobi UTCC, disana kita bakal dikasih amplop cokelat berisi ijazah, transkrip nilai dan legalisirnya. Jangan tanya gimana sigapnya para panitia buat ngejaga barisan ratusan orang biat tetep sesuai urutan. Karena sekali lagi, kita gak saling kenal dan semua hal sudah ditentukan sesuai urutan. Habis dibagi ijazah kita bakal difoto dan kemudian masuk kembali buat ke podium.

Terlepas dari berbagai kekurangannya, kegiatan wisuda kemarin itu keren lah pokoknya. Live Streaming juga. Semua orang bisa nonton (dan ngedonlod).

Maka setelah sekian panjang tulisan ini, setelah tujuh semester, setelah tiga tahun enam bulan, setelah acara wisuda yang menyenangkan, aku sampai juga di titik ini. Menghadapi kenyataan bahwa ada banyak hal yang harus dikerjakan. Masih banyak hal yang harus dihadapi. Masih banyak hal yang harus dijalani.

Termasuk janji untuk menerapkan belajar mandiri sepanjang hayat.

Meski ya, aku sudah tak bisa lagi menuliskan mahasiswa di kolom pekerjaan lagi.

 

=Tulisan ini tanpa proofreading, maaf segala saltik dan kalimat tidak efektif. Semua foto adalah foto di lokasi UT Pusat di Pondok Cabe, Tangerang Selatan=

 

Belajar bukan status dan bentuk fisik lain yang bisa terlihat. Ia adalah sebuah proses yang akan berbentuk pada akhirnya.

Diposkan pada Abstrak, Sebuah Cerita

Maju, Empati, Ikhlas

100_0634

Tiga kata itu yang kemudian menjadi kepanjangan dari nama saat kegiatan CEFE di kampus dulu. Kegiatan terakhir perkuliahan, kegiatan yang mana aku banyak merefleksikan hidup di dalamnya, tentang masa yang telah terlewat juga masa yang akan datang kemudian.

Rupanya ketiga kata itu doa. Yang awalnya mungkin tidak terlalu serius aku tulis, namun sungguh aku merasa jika malaikat menulisnya sebagai permohonan. Allah menyimpannya. Lalu dengan caraNya, perlahan mulai mewujudkannya.

Sungguh, Kau Yang Terbaik, Allah. Aku bahkan tak bisa menuangkannya dalam bentuk tulisan. Semua kebaikan yang kuingat kecil saja jika dibandingkan dengan kebaikan yang sebenarnya Kau berikan. Dengan sabar kau menghadapi rengekan dan nada putus asa dariku. Dari luar mungkin aku masih sama saja, namun di dalam, pemahaman mengenai kebaikanmu ini jauh lebih berharga.

Teruslah maju, berusaha menjadi lebih baik dari sebelumnya. Berempati dengan sesama. Lalu ikhlaslah menjalaninya. Kehidupan ini singkat saja, berapa umur manusia tertua? Hanya 100-an tahun lebih sedikit. Itu pun tidak semua orang bisa sampai. Semoga di waktu singkat yang entah di angka berapa akan berhenti ini, ketiga hal itu bisa menjadi salah satu bekal pertanggungjawaban.

Tidak mudah memang, namun dengan tidak mudah itu hasil apapun akan tetap berharga.:)

Diposkan pada Belajar

[Belajar] Perdagangan Internasional : Regulasi Anti Dumping

Impor selain dilakukan karena produksi suatu barang tidak bisa dilakukan di dalam negeri, tapi juga karena jumlah dalam negeri tidak mencukupi. Sehingga terjadi persaingan antara produksi dalam negeri dan luar negeri. Komponen persaingannya yaitu kualitas dan harga. Dan rata-rata produk dalam negeri kalah dalam komponen persaingan tersebut. Banyak para produsen barang dalam negeri, seperti sepatu, tekstil, produk tekstil, dsb, kemudian tidak memroduksi lagi dan hanya menjual produk impor.

Apalagi dengan adanya black market, yaitu impor tanpa proses kepabeanan, tanpa ada pajak dan bea masuk, sehingga harganya bisa menjadi sangat murah. Namun, bisa saja produsen itu menggunakan dumping.

Dumping adalah menjual sebuah komoditi di luar negeri dengan harga yang lebih murah dari harga produk lokal untuk mendapatkan pasar. Biasanya produsen yang melakukan dumping melakukan subsidi silang, dengan membiayai penjualan di luar negeri dari hasil penjualan di dalam negeri.  Sehingga setelah konsumen di luar negeri memilih untuk membeli barang luar negeri tersebut dan pasar mulai terkuasai, dia bisa menaikan harga barangnya tanpa ada saingan.

Hal ini, sebenarnya dianggap perdagangan yang tidak sehat oleh WTO. Contoh negara yang rajin melakukan dumping adalah Cina, makannya harga barang-barangnya murah.

Trade Remedies

Trade remedies adalah suatu instrumen yang dapat dipergunakan secara sah dan diatur dengan peraturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian (serious injury) atau ancaman akan terjadi kerugian serius (threat of injury) sebagai akibat prakter perdagangan yang tidak jujur (unfair trade practisess) atau adanya lonjakan impor dan perkembangan yang tidak terduga.

Diposkan pada Belajar

[Belajar] Manajemen Risiko : Pengantar Asuransi

Udah lama gak nulis di blog, karena gak bawa catatan, aku nyatet disini aja. Barangkali ada yang sama-sama mau belajar tentang asuransi. 🙂

Tapi maaf, bahasanya okem. Gak formal-formal amat, menurut pengertian aku sendiri, makannya mungkin agak membingungkan O.O

Sebelumnya, makasih buat Pak Drajat, dosen Manajemen Risiko, atas materinya ^^

 

_Tahun depan, kita tidak bisa lepas dari asuransi. Karena menurut peraturan nih : Bahwa seluruh bangsa Indonesia harus punya asuransi kesehatan. 

_Gunakanlah asuransi untuk menyembuhkan saat keuangan usaha mikro macet. Karena saat ini asuransi kebanyakan digunakan untuk mengobati, bukan untuk memertahakankan. Contoh bagusnya nih, saat modal investor macet, kita gunakan asuransi untuk mengobati cash flow-nya, bukan malah tutup usaha dan asuransi digunakan untuk mengganti rugi.

_Asuransi adalah metode utama dalam pengelolaan risiko dalam kehidupan sosial maupun ekonomi masyarakat dewasa ini, akan tetapi perlu diingat bahwa tidak setiap risiko dapat dikelola dalam asuransi.

_Asuransi juga dilindugi oleh undang-undang, jadi aman. Asuransi bisa dipakai buat memabantu usaha kecil.

_Risiko yang dapat diasuransikan hanya risiko murni, yaitu jika terjadi merugikan tapi jika tidak terjadi tidak menguntungkan.
a. Risiko terhadap harta benda : Kerugian langsung atau tidak langsung atas harta benda, kayak rumah, apartemen, dll. Tapi di Indonesia barang-barang atau lukisan antik gak bisa diasuransikan, karena perusahaannya gak mau, makannya banyak pelukis mengasuransikan barangnya ke luar negeri.
b. Risiko atas diri seseorang : Kematian usia muda, ketidakmampuan secara fisik, usia lanjut, pengangguran (klaim kalau kita di PHK).
c. Risiko tanggung gugat : Penggunaan kendaraan bermotor. Penempatan/pemakaian bangunan, memperkerjakan orang, memproduksi barang. Ini yang gak populer di Indonesia, padahal ini yang membantu dalam bisnis.
Misal kalau kredit yang kita ambil macet, risiko kita dialihkan ke asuransi. Jadi gak pusing dikejar-kejar debt collector. Karena premi asuransi, meski udah bayar berpuluh-puluh tahun tetep lebih kecil daripada uang klaim kalau kejadian.

_Dibanding kalau warisan tanah, warisan polis asuransi jiwa lebih menguntungkan loh. Lebih cepat pencairannya (hanya 30 hari), kalau tanah kan harus jualnya lamaaa…. terus lebih aman karena yang mengurus pembagiannya saat terjadi klaim adalah perusahaan dan mesin (transfer ATM), bukan orang-orang yang belum tentu amanah.

_Kalau tidak terjadi klaim, asuransi jiwa akan kembali preminya. Sedangkan selain asuransi jiwa uang perminya tidak akan kembali, biasanya hanya dikasih no claim bonus.

_Prinsip-prinsip asuransi:
a. Kepentingan yang dapat diasuransikan (insurable interest)
     Misalnya, kita gak bisa mengasuransikan motor tetangga, karena motor itu bukan kita yang beli.
b. Itikad baik (utmost good faith)
     Terjadinya klaim harus dengan sealami mungkin, gak direkayasa ._.
c. Ganti rugi (indemnity)
     Ganti rugi barang dengan harga beberapa saat sebelum kejadian. Misalnya klaim motor terjadi 3 tahun kemudian, berarti ganti     rugi adalah 90% dari harga motor tahun kejadian, bukan pas beli 3 tahun lalu. 10% lagi adalah deductible.
d. Subrogasi (subrogation)
     Pengalihan hak dari perusahaan asuransi ke pemilik. Tidak semua All risk (bayarnya 2,5% / tahun) menjamin semua risiko, soalnya kalau kita beli motor dengan asuransi all risk, tapi nanti kita yang nabrak dan bukan ditabrak, kita gak bisa dapat uang ganti. Nah, ada total lost only (bayarnya 1% / tahun) juga, ini tuh cuma ganti kalau motornya hilang.
e. Kontribusi (contribution)
     Misalnya kalau tabrakan beruntun, yang terlibat saling berkontribusi buat bayar.
f. Penyebab terdekat (proximate cause)
    Penyebab paling dominan yang menyebabkan kejadian itu terjadi. Ini yang paling ke Pengadilan, karena ini susah membuktikannya. Misalnya, kita punya asuransi untuk kecelakaan. Ternyata pas kecelakaan itu kita meninggalnya disebabkan karena kelalaian dokter setelah kita dimasukan ke UGD, berarti kita gak dapat uang ganti rugi.

_Istilah2 dalam asuransi
a. Tertanggung (Nasabah #? asuransi)
b. Penanggung (Perusahaan asuransi)
c. Penanggung ulang (karena barang yang diasuransikan besar, perusahaan asuransi gak bis nanggung sendiri)
d. Polis (perjanjian)
e. Nilai Pertanggungan
f. Premi
g. Klaim (tuntutan ganti rugi)
h. Deductible (Nilai yang menjadi tanggung jawab pemegang asuransi, kecuali kesehatan sama jiwa, semakin rendah deductible maka premi semakin tinggi. Buat motor 50rb, buat mobil 200rb)

_Jenis Perusahaan Asuransi dan Pendukungnya
a. Asuransi Jiwa (Bisa menyelenggarakan asuransi kesehatan juga)
b. Asuransi Kerugian
c. Penyelenggara Program Asuransi Sosial dan Jamsostek (PT. A.K. Jasa Raharja dan PT. Asuransi Tenaga Kerja, karyawan hanya menanggung 5% premi. Kalau di taman hiburan atau pariwisata, tiket jangan hilang, disitu ada asuransinya. Bisa jadi tanda bukti biar dapat asuransi kalau terjadi klaim)
d. Penyelenggara asuransi untuk PNS dan ABRI (Askes. Asabri, Taspen)
e. Reasuransi
f. Pialang/Broker (Asuransi dan Reasuransi)
g. Ajuster Asuransi (Orang yang menghitung dan memastikan kerugian saat klaim terjadi)
h. Konslutan Aktuara (Yang menghitung premi yang harus dibayar)

_Bagusnya perusahaan asuransi bukan dilihat dari besarnya premi tapi dari term of condition.

_Teknik Perhitungan dalam asuransi
Premi = Nilai Pertanggungan x Rate
Klaim = Nilai Ganti Rugi – Deductible

_Deductible tuh gunanya biar pas terjadi klaim kalau kerugiannya dibawah nilai deductible, berarti gak diganti. Misalnya, kalau motor rusak dikit dengan nilai kerusakan 20rb, berarti gak diganti, karena nilai deductible motor itu 50rb.

_Premi itu 3%, misalnya nilai mobil 140 juta. Jadi buat bayar premi, 140 juta dikali 3%, jadi premi yang harus dibayar itu 4,2 juta.

_Jika buat perusahaan taksi yang punya armada ribuan mobil, maka asuransi itu udah gak efektif. Bayar preminya terlalu tinggi. Jadi bisa diganti dengan sharing risk dengan supirnya, misalnya kalau dalam setahun gak ada kecelakaan, maka supir dapat bonus. Itu lebih hemat daripada bayar premi. Bisa juga dengan menghubungkan uang pensiun dan daftar kehadiran pegawai, semakin sering gak masuk, maka uang pensiunnya makin dikurangi. Ini bisa membuat pegawai semakin produktif.

 

Udah ah, keteteran ngikutinnya, muehehe. Semoga bermanfaat ya ^^
Pesan si Bapak : Gunakan asuransi buat melindungi kehidupan usaha kalian. Tapi lihat dulu aproximate cause-nya di polis. Biar gak dibohongin, karena risiko di satu tempat beda di tempat yang lain. Inget, premi cuma 3%! Gak lebih.

Diposkan pada Belajar

[Materi Kuliah] Perdagangan Internasional

Materi yang dibuat oleh Asisten Dosen. Tidak semua ditulis karena gak sempet, hehehe

Beberapa hal yang harus dipahami dalam melaksanakan kegiatan Perdagangan Internasional :
1. Tata laksana ekspor dan impor
2. Aturan-aturan yang berlaku di suatu negara mengenai kegiatan perdagangan internasional

Langkah untuk memulai ekspor :
1. Mempunyai produk unggulan ekspor
2. Keinginan manajemen untuk melaksanakan ekspor
3. Legalitas ekspor (izin pemerintah)
4. Peluang pasar untuk ekspor
5. Mengetahui kondisi pasar internasional
6. Memahami regulasi/aturan internasional
7. Mengetahui peta ekspor atau competitor dalam kegiatan ekspor

Kategori Barang-barang ekspor 
1. Barang yang diatur eksportir
Barang yang hanya dapat dilakukan oleh eksportir terdaftar, yaitu bagi pengusaha perseorangan atau perusahaan yang mendapatkan pengakuan dari Kementrian Perdagangan untuk melaksanakan ekspor produk tertentu dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Selain itu pengaturan ekspor terjadi karena adanya perjanjian Internasional, bilateral, regional maupun multirateral.

2. Barang yang diawasi ekspornya
Hanya barang yang dijiinkan oleh Kementrian Perdagangan. COn
Produk Peternakan (bibit sapi), perikanan, perkebunan, pertambangan, industri

3.Barang yang dilarang ekspornya
komoditi :
produk perkebunan(laret bongkah, bahan remailing)
produk industri (skap besi/ baja)
produk kehutanan
(kayu bulat kayu, kasar, kayu simpal)
kulit peternakan (kulit mentah, binatang liar dan tumbuhan alam yang dilindungi)
Produk cagar budaya (barang kuno yang bernilai kebudayaan)
produk perikanan (Udang galah, udang windu)
Produk pertambangan (biji timah dan konsentarsinya, pasir laur, pasir sungai)

4. Dokumen

1. Kontrak penjualan (Sales Contract)

2. Faktur perdagangan (Commercia; Invoice)

3. Letter of credit (L/c)

4. Pemberitahuan ekspor barang (PEB)

5. Bill of lading atau Air Way Bill

6. Packing List

7. Polis Asuransi

8. Certificate of Origin (COO) atau Surat Keterangan Asal (SKA)

9. Surat Keterangan Mutu

Diposkan pada Belajar

Materi Kuliah Teknik Penyuluhan : Perizinan

SURAT IJIN TEMPAT USAHA (SITU) DAN HINDER ORDONINTE (HO)

Apakah SITU boleh diurus setelah perusahaan lama berjalan?

– Boleh kalau usaha rumahan, asal sudah punya TDP/TDI dan tidak mempengaruhi lingkungan.

Jika usaha didirikan di tanah sendiri, apa perlu SITU? Kalau di franchise-kan bagaimana?

– Iya perlu. Kalau di franchise-kan tetap memerlukan SITU, karena tempat pendirian franchisee dan franchisor berbeda.

Bagaimana jika tempat usahanya disewakan? Kalau pindah tempat sebelum masa belaku SITU berakhir perlu membuat SITU lagi?

– Tidak perlu, namun datanya harus di upgrade ke tempat usaha yang baru.

Apakah SITU dan HO punya masa berlaku?

– Iya, 5 tahun.

ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL)

Kriteria Perusahaan yang layak memiliki Amdal?

– Biasanya perusahaan besar atau usaha yang memiliki potensi untuk mengeluarkan limbah yang dapat memengaruhi hajat hidup orang banyak

TANDA DAFTAR PERUSAHAAN (TDP)

Apa kegunaan TDP? Apa sangat penting?

– Ya, karena dapat digunakan untuk mengikuti tender dari pemerintah, untuk keperluan ekspor impor dan pengajuan bantuan alat.

Jika tidak membuat apa ada sanksinya?

– Iya, sesuai dengan Undang-Undang No. 3 tahun 1982. Sanksi bagi yang tidak membuat TDP adalah kurungan maks. 3 bulan dan pidana maks. 3 juta rupiah.

NOMOR POKOK WAJIB PAJAK (NPWP)

Berapa minimal jumlah pendapatan pribadi yang kena pajak?

– Jumlah akumulasi dalam satu tahun  15.840.000

AKTA PENDIRIAN PERUSAHAAN

Apabila perusahaan sudah berjalan lima tahun, bagaimana jika belum punya akta. Kan minimal sebulan sudah harus punya?

– Akta ini sangat berguna untuk mendapatkan pembinaan dan penting jika terjadi sengketa. Jika yang tidak punya akta, akan dicurigai jenis usahanya.

SURAT IZIN USAHA PERDAGANGAN

Apabila SIUP tidak diperpanjang bagiamana?

– Akan ada surat perpanjangan SIUP selama 3 hari, kalau tidak dibuat juga SIUP akan dicabut selama 3 bulan.

Apakah SIUP hanya berlaku untuk perusahaan perdagangan?

– Iya. Kepengurusannya di Dispendag atau di instansi lain yang ditunjuk untuk mengeluarkan SIUP meskipun perushaannya sudah besar.

Apa ada pengecualian untuk perusahaan yang harus memiliki SIUP dan berapa lama estimasi waktu pembuatannya?

– Iya, SIUP hanya untuk perusahaan perdagangan. Selain itu Perusahaan yang sudah punya cabang, cabangnya boleh tidak membuat SIUP. Estimasinya biasanya 7 hari, tergantung kebijakan daerah masing-masing.

Untuk pedagang eceran apa perlu memerlukan SIUP?

– Untuk pedagang eceran ada SIUP mikro, sampai maksimal modalnya 50 juta.

Diposkan pada Belajar

Materi Kuliah : Riset Pemasaran

Haish. Akhirnya aku nyobain kuliah dengan langsung membawa laptop dan nyambung internet, jadi… ini dia materi yang aku dapat di Mata Kuliah Riset Pemasaran hari ini 🙂

Sumber: Dosen Riset Pemasaran Pak Wisnu Gardjito

PROSES MARKETING RESEARCH, PENENTUAN MASALAH DAN TUJUAN RISET

Penentuan Problem Pemasaran dan Tujuan Riset :

1. Problem Marketing Mix

Berkaitan dengan bauran pemasaran, product, price, place, promotion.

2. Problem Keuangan, ini dilakukan jika kita sudah memulai bisnis.

3. Problem Penurunan Daya Saing, ini dilakukan jika kita sudah melakukan bisnis.

4. Problem Menghadapi Persaingan

5. Problem Brand Equity

COMPARING vs CONTRASTING

– Comparing = Membandingkan persamaan

– Contrasting = Membedakan

Udahan ah kayaknya, hmm.. aku gak terlalu suka teori, hihi. Tapi semoga bermanfaat. ^^

Diposkan pada Sebuah Cerita

Kesederhanaan (Cerita Lain Dari Cikoneng, Bogor)

114.56.95.247ac8cc99ac58404349d173bb4fc0f3f091357911

 

Ini hanya sekedar berbagi hal yang menggelitikku untuk menulis. Berawal dari keberangkatanku ke daerah perkebunan teh Cikoneng, Bogor untuk mengikuti Leader and Organization Training. Mm… aku tidak akan menceritakan tentang teknis acaranya. Aku hanya ngin bercerita tentang apa yang aku lihat selama kurang lebih tiga hari dua malam disana.

Ditengah udara dingin yang diluar kebiasaan, dan juga kabut yang bisa tiba-tiba datang menyelimuti, ada satu hal yang aku rasakan sama dengan apa yang aku rasakan ketika aku pulang. Kesederhanaan.

Aku tidak tahu nama persis dari tempatku mendirikan tenda untuk tidur. Namun tersimpan rasa salut yang besar bagi semua orang yang mau hidup di puncak bukit seperti itu. Selain kendala suhu dan cuaca, kemudahan akses juga terbatas. Satu lagi, ada satu Mesjid dengan kaca besar yang menghadap ke pemandangan indah dibawah sana. Jadi ketika kabut turun, kita bisa melihat keluar seolah-olah Mesjid berada lebih tinggi dari awan. Dan ketika Magribh, Mesjid dipenuhi oleh anak-anak yang mengaji. Subhanallah, padahal sore sudah turun hujan dan suhu benar-benar dingin. Begitu juga saat shalat subuh, walau jamaah tidak terlalu banyak, tapi sekali lagi salut untuk orang-orang yang mau terbangun dari tempat tidur dan bergegas ke Mesjid untuk shalat subuh.

Aku belajar lebih dari mereka, yang hidup dalam keterbatasan akses namun begitu damai dan jauh dari hiruk pikuk perkotaan, yang hidup dalam cuacana dingin namun begitu hangat dalam kekeluargaan, yang hidup dalam kesederhanaan namun merasa kaya dengan menysukuri apa yang ada.

Aku rindu pada kampung halamanku, dimana semua itu ada. Semua itu terasa. Ah, rasanya aku ingin pulang. Kembali menjadi gadis desa yang bersikap sederhana, namun luas wawasannya. Amin 🙂

Diposkan pada Sebuah Cerita

Tentang Belajar, Kehidupan dan Idola (1)

Hal yang paling sulit untuk memulai sebuah post sebenarnya nyari judul, dari sekian menit aku nulis disini, hampir seperempatnya adalah mikirin judul. Apakah nyambung, apakah menarik, apakah gampang dicari di Google? -.-

Ah, sebenarnya aku tidak terlalu terobsesi akan banyaknya orang yang akan membaca ketak-ketikku ini. Tapi… aku memang sedang mencari judul yang pas untuk dua tanggal ini, 25 Januari 2013 dan 26 Januari 2013.

DI tanggal 25 ada seseorang yang berulang tahun, dan di tanggal 26 ada seseorang yang  melangsungkan pernikahan. Kenapa begitu pentingnya mereka sampai aku serasa harus mengingat dan merayakan sesuatu di dua tanggal itu, karena aku menganggap seseorang yang berulangtahun dan menikah di tanggal itu adalah idolaku.

Ya, ya, ya, aku memang sama saja dengan remaja kebanyakan, punya idola setelah terkena virus KPOP. Tapi seiring umur yang terus bertambah dan pola pikir yang kuharap bisa menjadi lebih dewasa, aku menyadari akan sesuatu, bahwa mengidolakan tak bisa sepenuhnya. Mereka juga adalah manusia biasa yang memiliki kekurangan. Hanya satu yang pantas untuk di idolakan, yaitu Nabi Muhammad SAW. Tapi sebenarnya aku lebih suka menyebut beliau sebagai inspirator dan teladan hidup. ^^

Jadi, apa aku berhenti untuk mengidolakan manusia berwarga Korea?

Tidak. Aku tidak berhenti, hanya berubah. Bukan merubah idolaku, tapi alasan kenapa kau mengidolakan mereka. Aku tahu banyak pelajaran kehidupan yang bisa aku ambil dari mereka. Bukan hanya sekedar fisik, tapi juga semangat, karya, dan dedikasi.

Oh ya, perkenalkan idolaku ada dua grup idola Korea yang kuharap dianggap cukup terkenal disana, haha. Boyband 2PM dan Girlband Wonder Girls. Dan dua orang yang memiliki hajat di dua tanggal diatas adalah Lee Junho dan Min Sunye. Abang Junho yang ulang tahun ke 23 dan Teh Sunye yang akan menikah.

Oh ya, aku ingin memperkenalkan mereka satu-persatu dengan cara berbeda, maksudku, secara lebih subjektif dari sudut pandangku. Jadi gak ada copas google, kecuali fotonya, hehe 🙂

1. Kim Minjun (2PM)

Gambar

Abang Minjun ini di awal sudah diterima di dua manajemen besar di Korea, yaitu YGe dan JYPe. Dia kemudian memilih untuk ditraining di JYP. Apa alasan sebenarnya aku gak tahu, tapi dari sini aku belajar tentang membuat pilihan. Bagimanapun meski sama-sama kedalam kelompk BIg 3 manajemen besar di Korea, tapi JYP masih dibawah YG (from profit side I think). Tapi kurasa, aku bisa belajar tentang istilah mengikuti kata hati. 🙂

Lanjut, Abang MInjun termasuk orang yang menonjol kemampuan dancenya, Selama training dia lebih banyak latihan vokal. Alhasil ketika benar-benar debut sebagai 2PM, dia langganan cidera. Kemampuan menyanyinya di lagu debut juga gak ditonjolin, dia hanya menyanyi satu kata tanpa makna *yeaaay~ dengan nada tinggi. Walau begitu dia terus berlatih, hingga akhirnya berhasil menciptakan sebuah lagu. Alhasil, dia adalah member pertama yang mencipta lagu sendiri. Dari sini aku belajar untuk bisa fokus, Abang Minjun mungkin lemah dalam menari tapi kemampuan menyanyinya begitu kuat. Ayolah, tiap orang punya kemampuan berbeda-beda kan? Tak ada alasan menjudge seseorang ketika ia tak bisa melakukan sesuatu, karena dia pasti punya kekuatan ketika melakukan hal yang lain. Kalaupun dia benar-benar lemah untuk melakukan suatu hal A, berarti dia sangat kuat untuk melakukan B. Atau kendatipun seseorang memiliki kemampuan untuk melakukan keduanya, pasti cara dia melakukan hal B tidak akan sama dengan yang dilakukan oleh orang yang hanya bisa melakukan B. Aku percaya bahwa Allah memberikan jumlah kelebihan yang sama, hanya saja dengan porsi yang berbeda-beda 🙂

Terakhir, Abang Minjun adalah orang yang berfotosintesis. Mohon maaf saja, tapi aku merasa bahwa Abang Minjun ada di urutan terakhir saat 2PM debut. Tapi sekali lagi, dia adalah orang yang fokus dan apa adanya. Dia perlahan naik dan menjadi besar tanpa menjadi orang lain. Dia seakan tak khawatir dengan popularitas teman-teman satu grupnya yang jauh melebihi dirinya dan memilih sibuk untuk menggali potensinya dalam bidang musik.

Ah, kurasa aku masih harus sangat bekerja keras untuk bisa seperti ini, tidak khawatir dengan teman yang sudah lebih maju terlebih dahulu, namun tetap terus berusaha mengejar melalui jalan lain yang lebih aku sukai.

 

2. Kim Yoobin

Kim Yoobin Wonder GIrls

Teteh yang cantik ini gabung ke Wonder Girls untuk menggantikan Kim Hyuna yang keluar di jamannya lagu Tell Me. Menurutku menggantikan orang lain tentulah tidak mudah. Orang-orang akan membandingkan kemampuan dirinya dengan Hyuna dan banyak memberi nada pesimis tentangnya. Heei… tapi be your self! Seiring waktu berlalu Teh Yubin ini makin menunjukan ciri khasnya. Bahkan diluar dugaan, sekalipun di rapper, dia bisa berhasil menciptakan sebuah lagu riang berjudul Hey Boy 🙂