Nama: Meilinda Rizky Putri Wandhani
Pekerjaan:
Mmm… pekerjaan?
Pekerjaan: Mahasiswa
Mahasiswa, aku suka pekerjaan itu. Maka setelah hampir tiga tahun setelah di wisuda, aku masih menuliskannya sebagai pekerjaan jika menulis formulir atau biodata apapun.
Lagipula aku tidak bohong.
Aku masih mahasiswa, hanya tak terlihat ngampusnya saja. Tak terlihat gedung kampusnya, kelasnya, dosennya.
Kuliah di Universitas Terbuka (UT) memang unik, dan membutuhkan kalimat efektif efisien yang berbeda dengan biasanya saat ditanya kuliah dimana? Karena tak semua orang tahu UT. Malah saat heboh kasus kampus bodong itu, orang-orang pada heboh ngobrolin UT, karena… ya… mahasiswanya ada tapi gak ada kampusnya.
Sayangnya menjelaskan UT itu gak mudah, dia bukan cuma kuliah online atau belajar jarak jauh. Ada banyak perbedaan dan keistimewaan dibanding universitas konvensional yang hanya bisa dirasakan saat kamu menjadi bagian dari UT langsung.
Jadi, aku akan membantu mengambarkan dengan mengurai cerita, mungkin saja ini bisa membantu untuk memberi penerangan ditengah stigma yang ada.
Aku masuk UT pada Januari 2014 atau masa registrasi 2014.1. Dari sini saja UT sudah berbeda dengan Perguruan Tinggi lain, karena dia membuka pendaftara dua tahun sekali, yaitu pada awal (biasanya Januari) dan pertengahan tahun (biasanya Juli). Aku memilih program Non-Pendas alias non-keguruan dan Non-SIPAS atau tanpa paket. Jika yang mau kuliah di UT dengan rasa yang lebih konvensional, bisa memilih SIPAS. Per semesternya sudah ditentukan dengan lengkap, jadi mahasiswa tinggal cus ngikutin. Dengan memilih paket Non-SIPAS, maka semua terserah aku. Mau ambil berapa SKS per semester, mau ada tatap muka atau enggak, mau berapa tahun selesainya, pokoknya terserah, semua diprogram sendiri, yang penting tetep bisa menunjang proses pembelajaran.
Aku lalu memilih program studi Ilmu Komunikasi di Fakultas Hukum, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FHISIP) -Dulu pas daftar masih FISIP, belum ada jurusan hukum-.
Saat mendaftar di UT, usiaku 21 tahun. Mungkin terlalu tua untuk daftar program S1 dengan menggunakan ijazah SMK. Tapi sebenarnya, statusku saat itu adalah mahasiswa semester enam di sebuah Akademi kedinasan. Dan gak ada batasan usia saat kamu mendaftar atau keluar di UT. Gak peduli berapapun usiamu, dan walaupun kamu lelet menyelesaikan kuliah kamu, kamu gak akan pernah di Drop-Out. Asal kamu kuat aja buat nyelesein kuliah.
Memulai semua dari nol saat kamu hampir selesai itu gak mudah. Ijazah SMK-ku adalah untuk jurusan Teknik Komputer Jaringan, pertama ia aku gunakan untuk belajar Manajemen Pemasaran di akademi, lalu kemudian aku gunakan lagi untuk menyebrang ke dunia ilmu sosial di UT. Banyak orang yang bilang sayang: buang tenaga, buang uang, buang waktu.
Dan itu benar. Hanya jika materi yang jadi ukurannya. Dan itu benar, hanya jika kamu tidak pernah merasakan pedihnya jadi ikan yang merasa bodoh karena tak bisa terbang setelah mempelajari berkali-kali.
Semester pertama, aku mengambil 18 SKS atau 6 mata kuliah secara acak. Ada yang mata kuliah untuk semester 6, semester 7, semester 3, seenaknya aja. Aku memilih mata kuliah yang kelihatannya seru dan bisa aku tangani dengan usaha minim, mengingat saat aku juga sedang menghadapi tugas akhir. Maka semester itu diisi tutorial online beserta tugas-tugasnya saat aku sedang praktik penyuluhan dan riset rencana usaha. Bahkan minggu-minggu UAS berada diantara jadwal bimbingan laporan penyuluhan. Aku takjub sendiri kalau inget masa-masa itu.
Karena saat UAS berarti saatnya keliling kota. Jarak UPBJJ (Unit Pelayanan Belajar Jarak Jauh) Jakarta di Rawamangun jelas jauh dengan kos-kosanku di Jagakarsa. Perlu perjalanan empat jam dengan busway untuk mengurus keperluan akademik selama lima menit (catatan: dulu belum ada transportasi online dan belum ada cetak Kartu Ujian online). Jadi total delapan jam jika langsung kembali ke kosan. Belum lagi mencari lokasi UAS-nya yang berpindah-pindah. Lokasi UAS pertamaku adalah di UNJ dan yang kedua di salah satu SMP(atau SMK?) di Jatinegara. Asyiknya(?), ada mata kuliah yang jam ujiannya adalah jam pertama alias pukul 7 pagi, jika terlambat, kamu gak bakal bisa masuk.
Aku cerita sedikit soal UAS ini dulu.
Jadi, di UT gak ada UTS, tapi langsung UAS. Tugas tiap dua minggu sekali lewat Tutorial Online menurutku udah cukup bikin pening kepala. Karena gak ada gedung kampusnya, setiap UAS, UT bekerja sama dengan berbagai instansi untuk mengadakan Ujian, biasanya sekolah/kampus. Kamu bisa milih mau ujian di daerah mana saat kamu daftar. Tapi di instansi mana persisnya, itu akan tercetak di Kartu Ujian atau KTPU (Kartu Tanda Peserta Ujian). Di KTPU juga udah jelas jadwal pelaksanaan, nomor ruangan dan nomor duduk kamu.
Maka secara ajaib kamu yang berasal dari penjuru daerah manapun, akan bisa duduk buat ujian dengan soal dan lembar jawaban yang udah dicantumi nama kamu dengan tepat. Karena walau satu kelas bisa diisi dua puluh orang, kamu belum tentu bisa ketemu sama yang satu fakultas, satu jurusan, atau satu semester. Karena kalaupun itu sama, belum tentu saat itu kamu lagi menghadapi mata kuliah yang sama. Seperti waktu UAS pertamaku waktu itu, berhubung mata kuliahku acak-acak seenaknya, lembar soalku adalah Penelitian Sosial, sedangkan yang lain adalah Ilmu Pengetahuan Agama Islam, walaupun kami sama-sama semester satu.
UAS tiap semester hanya dilaksanakan dua hari di hari Minggu, jadi gak bakal ngeganggu yang kuliah sambil kerja. Konsekuensinya, satu hari Ujian bisa berisi sampai lima mata kuliah. Full dari jam 7 pagi sampai jam 5 sore. Aku pernah ngalamin ini loh, asli, bisa juga ngerasain muak sama buku.
Ok, kembali ke cerita saat aku UAS pertama kalinya dan harus masuk jam 7 di UNJ. Malemnya sehabis Isya aku langsung tidur, walaupun gak ngantuk, maksa aja. Berusaha gak kegoda ikut nimbrung ngobrolin soal bimbingan laporan penyuluhan temen-teman sekosan. Besoknya begitu adzan Subuh aku langsung berangkat, setengah lima dari kosan dan masih sempet-sempetnya baca modul dibawah penerangan angkot yang ngegoda buat tidur lagi. Karena ya, harus aku akui kalau kuliah sambil kuliah bikin aku keteteran baca modul. Begitu waktu UAS, masih banyak materi yang belum kebaca. Bad for me.
Oh ya, modul ini adalah alat bantu buat belajar para mahasiswa UT. Kamu bisa akses di ruang belajar virtual atau beli buku fisiknya lewat TBO Karunika (toko buku online milik UT). Tapi bagi aku, modul ini adalah bahan belajar utama. Aku gak punya waktu (dan kurang usaha juga) buat nyari materi lain di ruang belajar online UT atau media lain semacam radio/siaran televisinya. Jadi ya mau gak mau modul-modul itu udah jadi soulmate tiap semester, pengganti Dosen lah. Kemana-mana dibawa terus, ada waktu nganggur dikit lanjut baca. Apalagi kalau tebal modulnya gak kira-kira, bisa bikin kamus bermilyar kata minder. Jadi butuh waktu lama buat nyeleseinnya.
Waktu empat bulan kayaknya lama dan bisa cukup buat nyelesein, tapi kalau matkul yang kamu ambil satu semester itu ada delapan dan semua modulnya seserem itu? Bye.
November 2014. UAS semester kedua tempatnya kembali di daerah Utan Kayu Rawamangun sama salah satu daerah di Jakarta Timur. Kali ini acaranya berbarengan dengan wisuda di akademi. Maka aku harus merelakan gak ikut acara perpisahan dengan temen-temen di akademi dan ngekos sendiri di daerah Utan Kayu biar gak kesiangan saat UAS.
Sehari setelah UAS minggu pertama, aku wisuda. Dan saat itu aku masih sempetin bawa-bawa modul UT buat ujian di minggu kedua. Dan ujian itu adalah ujian terakhir aku di UPBJJ Jakarta. Karena setelahnya aku memohon ijin pindah ke UPBJJ Bandung. Aku udah gak tinggal di Jakarta setelah perkuliahan di akademi selesai, tapi meski begitu, kuliah di UT masih bisa jalan terus.
2015.1.
Aku masuk semester tiga, kali ini di UPBJJ yang berbeda dan tantangan yang berbeda. Aku mulai masuk kerja, dan… wow, ternyata aku lebih milih buat kuliah sambil kuliah dibanding kuliah sambil kerja. Bawa buku kemana-mana sambil ke lapangan, ngerjain tugas sambil jadi operator presentasi, nyuri-nyuri baca buku ditengah gaduh peserta pelatihan, bawa laptop saat nginep pelatihan buat ikut tutorial online, sampai nangkring di food court dengan tumpukan buku buat tuton demi wifi gratis saat uang honor gak turun. Mungkin kelihatan biasa aja, tapi semua itu diselipi stigma negatif lingkungan sekitar, rasa malu, rasa minder, takut ngelanggar etika, dsb dsb. Belajar di foodcourt dengan full musik dan riuh orang-orang itu rasanya gila loh. Apalagi di semester ini aku mulai ngambil matkul maksimal alias 8 matkul atau 24 SKS. Self management itu penting banget beneran, dan jujur sampai akhir aku belum bisa dengan serius ngejalananinya, jadi tiap mau UAS tetep keteteran baca modul.
Padahal pernah loh, saat aku pergi ke belahan bumi lain yang beda zona waktunya, koperku isinya cuma modul, sama printilan lain yang bukan baju. Semua pakaian aku masukin ransel saking gak muat disana. Dilema sih, kalau gak bawa, aku perginya lumayan lama, jadi aku bakal ketinggalan tuton dan materi banyak kalau gak bawa mereka(?).
Di semester empat, 2015.2. Aku nyobain ngajuin beasiswa PPA ke UT. Alhamdulillah diterima. Sempet was-was sih karena muncul nilai C. Karena… yes, matkul Logika itu sulit, bukunya tebel, dan aku harus membagi pikiran dengan 7 matkul lain di waktu yang mepet. Aku dibuatin rekening sama UT dan uang PPA-nya ditransfer setelah aku konfirmasi ke UPBJJ. Alhamdulillah :’)
Beruntung, kali ini tempat ujiannya gak pindah-pindah dan gak terlalu jauh -walau jauh juga sih-. Tapi disini aku bisa pakai kendaraan sendiri dan ngebut dikit kalau kira-kira bakal kesiangan. Selain itu udah mulai ada cetak kartu ujian online, walau saat di semester ini aku masih manual pergi ke Tasik khususon cuma buat ngambil KTPU doang.
Di semester lima, 2016.1. Aku ternyata masih dapet rejeki beasiswa PPA. Tapi rasa jenuh mulai datang menyerang. Rasanya pengen libur dulu. Capek. Dengan kuliah tanpa tenaga tapi matkul tetep full 24 SKS, maka nilai C datang menghampiri lagi.
Di semester enam, 2016.2. Semua matkul inti tinggal beberapa, sebenarnya kalau mau bisa aja aku nyelesein semua dengan alih kredit beberapa matkul umum yang udah dipelajari di akademi. Tapi aku mutusin buat ambil lagi aja semuanya, karena matkul umum macam Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, PAI, dsb, yang aku ambil di akademi ternyata cuma 2 SKS, sedangkan di UT 3 SKS. Jadi, ya udahlah. Aku ambil lagi. Semester ini gak akan aku lupain karena jadi momen aku suka sama BTS aku drop sebawah-bawahnya.
Aku kehilangan laptop di bus sepulangnya aku dari Jakarta. Uniknya, si pencuri gak cuma ambil laptop, tapi juga buku Pengantar Ekonomi yang lagi aku baca. Padahal itu belum aku baca semua dan UAS tinggal seminggu lagi. Alhasil, ditengah kesedihan (haha) aku mulai ngerangkum lagi semua materi (satu buku penuh) lewat Ruang Baca Virtual UT ditemani lagu-lagu BTS. Tapi asli loh, lagu Young Forever itu ngingetin aku sama momen dimana aku lagi ngerangkum di belasan lembar HVS sambil sedih-sedih ria mengenang masa muda, wkwk. Karena, yes, kata-kata di pikiran tentang “kamu udah 23 tahun dan kamu kehilangan banyak kesempatan karena belum nyelesein studi” itu terus menghantui di saat galau. Coba kamu langsung di jalan ini, gak usah bulak-belok, gak usah kesana-kemari, daaannn sebagainya. Tapi terus lagu itu bilang, selamanya kamu jadi anak muda, meskipun kamu jatuh dan melukai diri sendiri, kamu harus terus belari menuju impianmu.
Kebetulan? Kayaknya enggak.
Akhirnya, 2017.1. Semester 7. Aku bisa ngambil Tugas Akhir Program ditambah beberapa matkul umum yang belum aku selesein. Kali ini aku udah gak kerja dan mutusin buat fokus buat Karya Ilmiah sambil ngelamar part time (tapi aku gak dapet, mungkin emang beneran harus fokus tuh beneran fokus). Terilhami apa yang aku alami di semester sebelumnya, aku mutusin ngangkat tema soal lirik lagu BTS jadi Karya Ilmiah, haha. Tapi aku gak fangirling-an loh, itu asli ilmiah dan aku berusaha objektif ngelihat lirik lagu berbahasa Korea yang mencoba mengomunikasikan sesuatu ke pendengar lagunya.
Tapi itu berhasil.
Maksudku, kamu gak paham bahasa Korea tapi kamu bisa ngerasain apa yang sedang dicoba buat dikomunikasikan sama isi lagu itu. Yup, musik adalah bahasa universal, tapi aku lebih nyorotin ke liriknya, dan bingkai dalam sudut pandang komunikasi antarbudaya. Seriusan, aku gak pernah se-enjoy itu nulis sesuatu yang berat macam Karya Ilmiah. Sampai orang-orang taunya aku pusing karena soal ujian masuk BPJS daripada lagi nulis tugas akhir.
Nah, ini bedanya lagi di UT. Kamu gak skripsian. Gantinya, kamu harus nulis Karya Ilmiah yang peraturannya disesuaikan dengan jurusan masing-masing. Kalau udah, tinggal unggah di situs UT. Karya Ilmiah itu ngasih bobot ke nilai kelulusan barengan sama TAP atau Tugas Akhir Program. Karena aku ngambil TAP sambil kuliah juga, maka sebelum TAP aku tetep UAS kayak biasanya. Ngebut banget lah.
TAP lalu dilaksanakan sebulan -atau dua minggu ya- kemudian. TAP itu semacam ujian komprehensif. Tapi gak teoritis, kamu dikasih soal berbentuk studi kasus, dan kamu harus mecahin studi kasus itu dengan teori-teori yang udah kamu pelajari selama kuliah. Jadi kamu tahu ilmu yang kamu pelajari itu aplikasinya kayak apa di kehidupan nyata. Berhubung aku mempelajari ilmu sosial, sebenernya ngelogikainnya lebih mudah sih. Cuma kalau kamu jawab cuma pakai logika tanpa teori yang memadai, tetep aja nilainya jelek. Seingatku, saat TAP, cuma aku yang close book, karena ternyata aku sendirian dari Ilmu Komunikasi, huhuhu.
Dan kesendirian ini tetep berlangsung sampai aku wisuda kemarin. Aku satu-satunya dari Ilmu Komunikasi dari UPBJJ Bandung yang wisuda di UT Pusat.
Sebenarnya soal wisuda ini aku merasa butuh tulisan berbeda, tapi aku gak yakin bisa memenuhi niat itu atau enggak, jadi ayo selesaikan sekarang juga.
Soal wisuda di UT juga berbeda. Hanya karena UT gak ada gedung kampusnya, banyak orang yang gak ngeh soal keberadaan Perguruan Tinggi ini. Padahal mahasiswanya sangat banyak, di seluruh Indonesia dan juga beberapa negara lain macam Arab Saudi, Hongkong, Taiwan sampai Korea Selatan. Megakampus disebutnya juga. Makanya dalam setahun UT bisa ngadain wisuda sampai empat kali.
Dan yah… gratis. Aku gak bohong. Aku aja kaget. Wisudanya gak bayar. Di LIP-nya 0 rupiah. Dibilangnya udah dibayar pas masa pendaftaran. Padahal seingatku pas daftar aku cuma bayar buat SKS. Gak ada uang pendaftaran, gak ada uang bangunan (lah gak ada gedung kampusnya), gak ada uang lain-lain. Paling beli baju almamater doang. Dan padahal yang lain, biaya per SKS-nya itu murah banget loh, seriusan. Cek aja dan bandingin sama di Perguruan Tinggi lain. Paling mahal aja 41.000 (gak tahu kalau sekarang naik)/sks. Jadi kalau mau ambil satu matkul dengan 3 SKS, kamu cuma bayar 123rb. Dengan 123 ribu maka kamu udah bisa jadi mahasiswa UT, nak. Mungkin karena memang tujuan UT sebagai pendidikan tinggi jarak jauh adalah menjangkau siapa saja yang mau terus belajar tanpa batasan geografis.
Wisuda bagi mahasiswa UT yang kepanggil buat wisuda di UT Pusat punya banyak arti. Pertama, bisa lihat gedung UT yang super gede dan megah. Akhirnya bisa lihat gedung akademik fakultas yang bertingkat-tingkat, gedung rektor yang menjulang, gedung wisma UT yang ngalah-ngalahin hotel, gedung convention center yang super memadai. Semua jadi berasa wah-nya, karena kita kebiasa numpang di gedung orang lain buat ujian.
Apa coba yang mancing perhatian? Mesjidnya. Dia ada di paling depan deket parkiran, terasnya luas dan tiap tiang ada stop contact-nya. Tiap tiang pasti ada ‘pemilik’nya, mereka yang lagi duduk nyender sambil nge-charge hp, wkwk. Pengertian banget. Seakan tahu kalau orang-orang yang datang dari berbagai daerah buat ikut acara wisuda itu bisa dateng jam berapa aja. Jadi bisa nunggu disana dengan nyaman.
Kedua, kita akhirnya bisa ngelihat langsung wajah Rektor, Dekan, Dosen, Staf UT yang selama ini cuma kelihat foto sama kebaca namanya doang. Juga, bisa ketemu langsung sama mahasiswa lain yang cakupannya lebih luas dari sekedar pas UAS. Karena mereka diundang dari semua UPBJJ seluruh Indonesia bahkan ada yang dari luar negeri.
Ketiga, bisa ngerasain ‘kuliah’ untuk pertama dan terakhir kalinya di gedung sendiri. Mungkin ini gak bisa relate ke semuanya ya. Karena bagi yang suka TTM alias kuliah tatap muka, mereka udah biasa. Tapi bagi aku yang cuma lewat tutorial online, acara seminar sehari sebelum wisuda itu berkesan lah. Aku juga salut loh UT ngadain seminar sehari sebelum wisuda, disebutnya sebagai pembekalan buat wisudawan. Asyik ya. Gratis lagi.
Keempat, aku bisa langsung dapet Ijazah. Ini adalah pembeda terbesar dan paling aku syukuri. Kalau di kampus lain wisuda hanya sekedar seremoni, di UT adalah sebenar-benarnya ‘perpisahan’. Semua hal yang pernah diceritain ibuku soal wisuda UT akhirnya bisa aku lihat langsung. Walau aku sempet heboh karena teledor gak bawa nomor foto, ternyata panitianya tetep nyusurin ke barisan wisudawan buat nanya siapa yang belum dapat nomor. Berhubung kita gak saling kenal dan jumlah wisudawan super banyak (kalau gak salah waktu di UT Pusat itu 1300 orang, belum yang di wisuda di UPBJJ masing-masing) jadi foto akan dicocokan berdasarkan nomor. Aku gak tahu ini nasibnya gimana karena nomornya beda wkwkwk.
Dan, acara wisudanya asik banget. Gak ngebosenin. Pas kamu masuk ke UTCC, di tiap kursi udah ada tas berisi air minum dan snack, jadi kamu gak bakalan kelaparan. Buat selingan acara pemanggilan wisudawan untuk bersalaman dengan Rektor(?), ada hiburan dari paduan suara sampai muter video testimoni yang direkam saat gladi bersih. Lucu karena nampilin banyak ekspresi wisudawan yang aneh-aneh. Seru lah. Belum lagi nyanyi-nyanyi barengnya. Nah, pas kita baris buat dikasih selamat sama Rektor itu kita bakal jalan dulu ke lobi UTCC, disana kita bakal dikasih amplop cokelat berisi ijazah, transkrip nilai dan legalisirnya. Jangan tanya gimana sigapnya para panitia buat ngejaga barisan ratusan orang biat tetep sesuai urutan. Karena sekali lagi, kita gak saling kenal dan semua hal sudah ditentukan sesuai urutan. Habis dibagi ijazah kita bakal difoto dan kemudian masuk kembali buat ke podium.
Terlepas dari berbagai kekurangannya, kegiatan wisuda kemarin itu keren lah pokoknya. Live Streaming juga. Semua orang bisa nonton (dan ngedonlod).
Maka setelah sekian panjang tulisan ini, setelah tujuh semester, setelah tiga tahun enam bulan, setelah acara wisuda yang menyenangkan, aku sampai juga di titik ini. Menghadapi kenyataan bahwa ada banyak hal yang harus dikerjakan. Masih banyak hal yang harus dihadapi. Masih banyak hal yang harus dijalani.
Termasuk janji untuk menerapkan belajar mandiri sepanjang hayat.
Meski ya, aku sudah tak bisa lagi menuliskan mahasiswa di kolom pekerjaan lagi.
=Tulisan ini tanpa proofreading, maaf segala saltik dan kalimat tidak efektif. Semua foto adalah foto di lokasi UT Pusat di Pondok Cabe, Tangerang Selatan=
Belajar bukan status dan bentuk fisik lain yang bisa terlihat. Ia adalah sebuah proses yang akan berbentuk pada akhirnya.