Hal menyakitkan dari masa sekarang adalah, ketika kau sudah merasa bisa memahami dan memandang hidup lebih luas, justru kau mendapati bahwa dunia tidak sebaik kahayalan masa kanak-kanak. Tidak semua hal baik, bahkan ketidakbaikan yang paling tidak baik itu juga ada dalam dirimu sendiri. Kau ternyata ambil bagian dalam ketidakbaikan dunia.
Dunia sangat ramai sekarang ini, dari lubang persembunyian paling dalam pun, kisah memilukan perang yang berkelindan begitu lama hingga tak bisa kupahami mana pangkalnya, datang dan perginya tren yang begitu mudah diikuti orang-orang, pernikahan seorang teman lama, hingga seseorang yang sedang sakit gigi, tiba dan sampai menjadi informasi yang kulahap dan diolah dalam pikiran.
Maka terkadang, jika begitu lelah, aku memilih bersembunyi lebih dalam. Tapi aku tetap tak ingin sepi, maka kuikutsertakan begitu banyak irama dan lirik lagu ke dalam persembunyian. Mereka adalah saksi, mereka adalah teman, mereka adalah musik.
Mereka adalah kesalahan.
Maka jika memang musik adalah sebuah dosa, maka mungkin tak terbayang seberapa besar dosa yang kumiliki.
Aku telah mengakrabi musik sejak kecil, ibuku pernah menjadi seorang penyiar radio dan aku salah satu pendengar setianya –meski hanya untuk memastikan kapan ia pulang. Musik menjadi teman ketika aku menulis karena ia begitu hebat membantu membangun imajinasi. Dia bahkan memiliki rangkaian kata pilihan bernama lirik yang kemudian disebut lagu. Jika mereka berpadu dengan baik, maka aku akan sangat setia mendengarkan bahkan hingga berkali-kali.
Karena aku suka dengan sesuatu yang membuncah dalam dada setiap berhasil menemukan lagu yang kuanggap baik. Buncahan itu, aku tidak tahu apa namanya. Dia membawa kebahagiaan, tak peduli sesedih apapun ia mendayu.
Mengering sudah, bunga di pelukan
Merpati putih, berarak pulang
Terbang menerjang badai
Potongan lirik Merpati Putih milik Alm. Chirsye ini tetap menjadi favorit hingga sekarang. Liriknya, musiknya, tetap menyenangkan untuk didengar. Aku tidak tahu nama perasaan itu, tapi jika ingin mencoba merasakan buncahan misterius itu, mungkin bisa dimulai dengan mendengar lagu ini.
Masa remaja, aku masih ditemani dengan banyak musik. Radio bahkan tidak pernah mati hingga aku tertidur dan menjadi alarm saat subuh menjelang dengan jadwal ceramahnya. Alasan utama aku melakukan itu, sebenarnya karena rasa takut tidur sendirian di kamar. Suara penyiar dan selingan musik menjadi teman membangun mimpi masa depan, atau sekedar membantuku melampiaskan emosi ketika gagal menemukan jawaban tugas matematika.
Ah, kenangan-kenangan itu.
Kotak musik kenanganku dimulai dari mulai artis-artis cilik dengan video klip sederhana berisi lirik lagu di bawahnya, hingga band awal era milenium semacam Peterpan, Sheila on 7, Element, Letto, Nidji, dan banyak yang lain. Aku tidak bisa hafal yang lain lagi sejak genre musik sedikit berubah. Kotak musikku kemudian tertutup.
Ah iya, genre baru itu, orang-orang menyebutnya genre melayu.
Entahlah, aku padahal senang lagu-lagu Siti Nurhaliza dan bahkan lagu Sabda Pujangga milik Dewi Yul, tapi kenapa tidak dengan musisi yang mengambil genre ini dalam musiknya? Lirik mereka juga berubah: putus, selingkuh, pengkhianatan, semua berlebihan, tidak masuk akal. Acara musik berubah menjadi lelucon, banyak tawa, tidak jelas, yang menyanyi semakin sedikit, itu pun hanya mengap-mengap, penonton bertingkah berlebihan, very annoying.
Maka di ujung fase remaja, aku berpaling pada KPOP.
Ah, kalimatku sepertinya terlalu straight, lurus.
Aku sebenarnya agak kesulitan mengakui menyukai KPOP karena terlalu sering terintimidasi dengan ketertarikanku pada musik Pop Korea. Aku jadi merasa bahwa kesukaanku ini tidak baik, tidak wajar, membuatku terlihat bodoh, tidak cinta tanah air, dan hal lain yang membuatku tidak bisa sama dengan teman-temanku yang lain.
Sudah cukup dengan hal-hal prinsip yang membuatku begitu kaku dan menjadi tidak sama dengan temanku yang lain. Kenapa aku mau susah payah menambah hal tersier yang membuatku seperti terisolasi?
Aku menyukai serial drama Korea sejak kecil, tapi hanya menonton sebatas lalu jika muncul di televisi. Alasannya sama, karena sinteron buatan dalam negeri tidak menarik. Aku merasa bisa membuat cerita fiksi lebih bagus dari itu. Padahal hingga Cinta Fitri season pertama aku masih kuat mengikuti.
Tapi untuk musik, aku akhirnya benar-benar jatuh cinta sejak tahun 2010. Alasannya, aku merasakan buncahan itu lagi saat aku mendengar salah satu lagu Korea di tahun tersebut. Rasanya lebih aneh karena aku tak mengerti satu kata pun di lagu itu, bahkan untuk kata bahasa Inggris yang menjadi bagian dari lirik pun tidak membantu karena pengucapan yang tidak sempurna.
Saat itu orang-orang yang tertarik pada KPOP masih sedikit, jangan tanya bahagianya saat bisa menemukan orang memiliki ketertarikan yang sama. Tak peduli grup yang disukai berbeda, pembicaraan akan tetap menyenangkan karena setiap grup punya karakteristik yang sama.
Kotak kenanganku tentang musik kini berganti lagi. Disini, aku menemukan diriku yang bisa mengenal begitu banyak orang dari dunia maya hanya karena pembicaraan tentang KPOP. Meski berjauham, beberapa bahkan sudah ada yang kuanggap keluarga. Kami berkomunikasi, dari pembicaraan tentang grup yang disukai hingga masalah pribadi. Dari sekedar berkirim doa, hingga hadiah benda yang sampai di depan rumah.
Di masa ini pula aku menemukan diriku yang menemukan kebingungan berat untuk kesekian kalinya. Nilai turun, ancaman tidak lulus, hingga tidak tahan dengan anggapan menyukai kepalsuan berkelindan menjadi satu.
Beberapa tulisan tentang KPOP mungkin adalah tulisan yang paling sering aku posting di blog ini, dari mulai resensi hingga tulisan abstrak penuh kegelisahan. Bagi yang belum pernah masuk dalam dunia KPOP mungkin agak sulit untuk memahaminya. Ya, anggap saja KPOP adalah dunia, karena ia terlalu rumit jika dikatakan hanya sebuah genre musik. Dia sama dengan banyak kegemaran lain, punya aturan, punya istilah, punya karakteristik-nya sendiri. Seperti jika yang tak menggemari olahraga, mungkin akan sulit memahami pembicaraan tentang pertandingan sepak bola atau berita transfer pemain. Atau yang tak menggemari games, akan sulit memahami pembicaraan tentang istilah permainan didalamnya.
KPOP adalah industri, industri hiburan lebih tepatnya. Konon, pemerintah Korea Selatan ikut membiayai industri ini. Tak heran jika rakyatnya membayar pajak, berarti ia ikut andil dalam membiayai industri hiburan negaranya. Sebenarnya industri hiburan Korea tidak hanya musik, tapi juga hal lain seperti drama dan film. Tapi membahas musik saja rasanya sudah akan cukup panjang.
Menjadi penyanyi dan masuk ke industri bukanlah perjuangan mudah, tidak cukup dengan punya follower banyak di sosial media atau mencari sensasi di televisi. Sejak remaja, bahkan di usia 10 – 12 tahun, mereka yang lolos audisi di agensi hiburan di didik berbagai macam hal terkait kemampuan mereka dengan istilah training. Berapa tahun mereka di didik? Tergantung, dari mulai hitungan bulan bahkan hingga mencapai 15 tahun. Tak ada yang pasti, semua tergantung kebijakan agensi masing-masing dalam menentukan strategi mengikuti perekembangan industri ini.
Maka tak heran jika penyanyi, baik solo atau sebagai grup yang berhasil debut bukan artis asal-asalan. Mereka harus punya ciri khas, mereka punya kemampuan, mereka harus punya sesuatu jika tidak ingin tergilas dengan produk baru yang akan keluar. Perkembangan industri musik KPOP benar-benar dinamis, artis yang baru debut bisa mengeluarkan karya baru tiga kali dalam setahun. Dengan konsep yang jelas harus berbeda, harus. Jika ada satu artis yang tidak mengeluarkan album dalam kurun waktu lama, para penggemarnya akan terus mempertanyakan pada agensi.
Ah, ada satu hal penting dalam percaturan industri ini, yaitu agensi. Merekalah pabrik dari semua produk artis itu. Mereka yang mendidik, menerbitkan, memasarkan dan terus mempertahankan sebisa mungkin hingga waktu yang lama. Semua hal tentang artis diurus oleh agensi ini, dari mulai perkara pekerjaan hingga pribadi. Jika disini ada berita pernikahan wartawan akan bertanya pada artis atau keluarganya, maka di Korea wartawan akan menghubungi agensinya. Ah, berita pernikahan terlalu mewah, berita tentang artis yang pacaran saja mahal harganya.
Karakterisitik setiap agensi dalam mengatur setiap artisnya berbeda-beda, mengikuti perkembangan perusahaan-perusahaan hiburan ini juga bisa jadi sisi lain yang menyenangkan. Belum lagi tentang penggemarnya, ada istilah fans kingdom atau disingkat menjadi fandom. Pernak-pernik tentang fandom dari setiap grup atau penyanyi ini juga tak kalah meriah. Artis yang berkualitas dengan pemasaran agensi yang luar biasa bisa menghasilkan fans yang banyak sekaligus loyal. Dari sekedar membeli album atau datang ke konser hingga follow up semua tentang idolanya di internet. Tapi dibalik kemeriahan itu, hal yang paling aku sukai dari hal tentang fans ini adalah munculnya karya seni baru dari karya yang diciptakan artis kegemaran mereka. Dari mulai cover lagu, lukisan -baik tangan atau grafis-, hingga cerita fiksi atau fanfiction.
Ah, ini belum selesai, tapi sudah telalu panjang.
Semua hal itu aku pahami dengan perlahan, seiring waktu. Berusaha memahami sisi lain dari hal yang dianggap baik selama ini bukanlah hal yang mudah. Aku pernah berkali-kali menyerah dan berusaha untuk berhenti mengikuti. Melepaskan ikatan dengan banyak teman yang sudah kuanggap keluarga tadi agar bisa menjadi normal -seperti temanku kebanyakan. Menutup semua kotak kenangan tentang musik yang menjadi lagu pengiring dalam masaku memulai pemahaman tentang kehidupan. Tapi selalu saja, KPOP yang pertama yang membuatku jatuh cinta lagi.
Maka begitulah, aku tetap punya sisi lain dalam diriku karenanya. Meski aku di tahun 2010 dan sekarang aku merasa sudah berbeda, tapi karakteristik KPOP membuatku merasa harus sembunyi karena aku menjadi tetap sama.
Tapi berbicara tentang musik, aku tahu itu tetaplah sebuah kesalahan. Meski aku selalu berusaha mencari celah dari hal mengenai Allah yang menyukai keindahan. Dan di beberapa kesempatan, aku merasakan rasa syukur yang sangat karena aku bisa begitu buncah oleh kebahagiaan hanya karena sebuah alunan musik. Aku begitu bersyukur karena aku tidak sepi hanya karena sebuah lagu, aku bisa menemukan semangat hanya karena beberapa untaian lirik.
Aku bahkan masih tidak mengerti kenapa bunyi-bunyian yang berbeda bisa menjadi sebuah harmoni yang indah. Kenapa alat-alat musik itu bisa punya suara yang berbeda-beda. Kenapa suara manusia bisa beragam. Kenapa dengan hanya 7 nada diatonis di dunia, bisa menghasilkan musik yang beraneka macam. Kenapa dengan lirik yang bahkan tak kau pahami sekalipun, kau bisa menangkap emosi yang disampaikan seorang penyanyi.
Kenapa.
Aku tidak menuliskannya dengan tanda tanya, karena terlepas dari prosesnya, aku merasa sudah menemukan jawaban.
Semua karena Allah, Dia yang menciptakan semua keindahan. Termasuk yang bisa ditangkap oleh indera pendengaran manusia meskipun ia sangat terbatas. Aku percaya ada beberapa karya yang ditulis dengan hati, hingga ia bisa menyentuh hati orang lain meski disampaikan dengan bahasa yang berbeda.
Semua sungguh karenaNya. Semua tentang musik, sungguh penuh dengan hal yang patut menjadi perenungan.
Mungkin, suatu saat, bisa saja, suatu saat aku mampu untuk meninggalkannya dengan usaha yang jauh lebih keras. Menjadikannya bagian kotak musik kenangan terakhir yang harus aku pertanggungjawabkan dihadapanNya kelak.
NB.
Image Source: #Wings Short Movie 1 : Begin