Diposkan pada Sebuah Cerita

Janji Sendiri

Aku terbiasa sendirian. Tanpa bermaksud mendiskreditkan orang-orang di sekitar yang mau menemani, tapi aku memang terbiasa sendiri. Dari kecil untuk menjaga rumah, hingga dewasa untuk ke perantauan. Pergi sendiri, pulang sendiri, makan di tempat umum sendiri, ke bioskop sendiri, ke kondangan sendiri. Aku melakukannya sebelum kemudian orang-orang membahasnya di sosial media sebagai sesuatu yang luar biasa.

Terkadang, untuk beberapa hal, mungkin pembahasan di sosial media itu memang terlalu mempermasalahkan hal yang sebenarnya tak masalah.

Tapi belakangan, untuk beberapa bulan ini, aku tidak bisa sendiri.

Ada kehidupan dalam rahimku yang membuat aku selalu bersamanya. Dia bahkan ada saat aku tidur, saat mandi, atau bahkan saat menangis sesenggukan di pojokan. Aku tak bisa menyimpan rahasia darinya, dia tahu aku sedang merasakan apa saat aku tak mengatakan yang sebenarnya pada siapa pun. Dia tahu aku kelaparan, dia tahu aku haus, dia tahu aku sedang sedih, dia tahu aku senang.

Dia, yang sedang kunanti lahirnya ke dunia.

Saat nanti dia benar-benar hadir dan terpisah dari ragaku, dia mungkin tak lagi bisa mengerti apa yang aku rasakan. Tak lagi bisa menemani ke mana aku pergi. Tapi aku anak pertama, dan dia adalah anak pertama, setidaknya aku akan berusaha agar dia tak selalu merasa sendiri seperti yang kualami.

Diposkan pada Sebuah Cerita

Aku dan Penerbit

Gara-gara kemarin bicara soal penerbit di group chat, entah kenapa seharian aku jadi kepikiran.

Untuk beberapa menit pas ikutan ngobrol di sana, aku seperti menemukan diriku yang udah mati. Ralat, yang aku paksa buat mati karena aku pikir bagian diri aku itu udah gak berguna lagi.

Pertama kali aku mengetahui mengenai mekanisme menulis dan penerbitan itu sekitar umur tiga belas tahun. SMP. Sebelumnya aku cuma tahu aku suka menulis cerita dan gak tahu gimana caranya biar tulisan itu bisa dibaca orang. Dengan catatan, tanpa diketahui itu aku yang nulis, because man I’m so afraid of people’s judge. Aku pernah diketawain karena punya cita-cita jadi penulis dan itu membekas banget hingga aku beranjak remaja.

Aku berusaha bikin tulisan sebagus mungkin tiap tugas Bahasa Indonesia biar bisa mejeng di Majalah Dinding. Tapi gak pernah berhasil. Sedangkan kirim tulisan sendiri ke pengurus Mading itu aku masih takut dengan risiko diketawain.

Sampai akhirnya aku dapat informasi dari televisi karena film Eiffel I’m In Love booming, film itu diangkat dari novel dan penulisnya diundang di acara berita. Penulisnya nyeritain gimana awal mula tulisannya bisa terbit. Aku dapat inspirasi, ternyata tulisan itu dikirim ke Penerbit. Buat tahu alamat penerbitnya, harus pergi ke toko buku buat lihat-lihat sampul buku bagian belakang dan nemu alamat penerbit.

Alamak. Di kotaku gak ada toko buku.

Aku pergi ke Perpustakaan Kota, buku-bukunya jadul dan kurang update, tapi lumayan bisa buat aku praktek ngikutin tips itu. Aku nulis banyak alamat penerbit. Gak tanggung-tanggung, sasaranku adalah Gramedia Pustaka Utama.

Bukan tanpa alasan aku berani-beraninya mau kirim ke sana, karena memang buku di Perpus kebanyakan terbitan sana. Aku pergi ke warnet, dulu internet baru masuk sekolah dan lelet luar biasa. Jadi aku menyisihkan uang untuk pergi kesana cuma buat kirim e-mail ke Gramedia, tanya, gimana caranya buat kirim naskah tulisan ke sana?

Aku gak mungkin lupa gimana rasa senengnya saat beberapa hari kemudian aku berhasil ngumpulin uang buat ke warnet, dan dapet jawaban dari redaksi meskipun itu cuma informasi soal kriteria naskah yang mereka terima. Sampe pulang ke rumah pun tetep bikin senyum-senyum, ngelebihin dapat surat cinta.

Selama beberapa bulan, hampir satu tahun aku nulis cerita, menyisihkan uang untuk beli HVS buat nyetak naskahnya. Diam-diam kirim ke POS lewat temen karena gak mau ketahuan orang. Beneran udah kayak transaksi narkoba. Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Bapak POS datang ke rumah, diterimu Ibu. Matilah.

Ditanyain itu dokumen dari siapa. Aku gak jawab. Langsung lari ke kamar buat dapat buka dokumen yang di dalamnya ada naskah barengan sepucuk surat. Surat penolakan. Aku patah hati. Ku simpan naskah itu di meja paling bawah dan mutusin biar nulis cerpen aja biar cepet selesai dan gak modal terlalu banyak.

Tiap pulang sekolah, aku ke tempat jasa pengetikan buat nulis cerpen. Kalau di majalah ada sayembara aku ikut catet dan berusaha ikutan juga. Tapi ya gitu, belum pernah lolos.

Masuk SMK aku dapat ide menulis lagi, selama tiga tahun pelan-pelan aku selesaikan. Aku udah mulai bisa ke toko buku di kota sebelah. Kalau masuk ke sana, yang pertama dibaca bukan blurb buku, tapi alamat penerbit. Hingga akhirnya aku dapat target kedua, Gagas Media.

Saat itu aku udah kenal dengan facebook, diajak teman untuk menulis rutin halaman fanfiksi korea miliknya. Gak peduli aku belum hafal artis Korea, temanku cuma pengen halamannya rame. Hingga untuk pertama kalinya, aku merasakan bagaimana tulisan dibaca orang lain.

Meski hal itu tak menghilangkan mimpiku untuk bisa punya buku betulan.

Maka tepat sebelum aku perpisahan di SMK, aku mengirimkan naskah lagi. Bahkan kali ini ada dua, karena efek komentar dan semangat dari orang lain berhasil membuatku menyelesaikan satu cerita panjang di facebook, jadi cerita itu aku cetak dan menemani naskah yang kutulisa bertahun-tahun ke meja redaksi Gagas Media.

Tak perlu menunggu lama, aku dapat surat balasan lagi. Isinya penolakan.

Saat itu aku gak tahu jika tiap penerbit punya kriteria. Aku belum dapat ilmunya tentang naskah macam apa yang dicari tiap penerbit. Semua itu aku dapatkan justru saat aku sudah ada di bangku kuliah yang tak mempelajari sedikit pun tentang kepenulisan. Aku mencari sendiri, mengikut bedah buku, seminar sana sini, hingga akhirnya memutuskan untuk mencetak di Nulisbuku.

Tapi aku gak punya waktu untuk promo tulisan sendiri di Nulisbuku. Dulu sosial media belum menjadi tempat untuk berjualan. Jadi semua terbatas pada komunitas sendiri dan memang hasilnya nihil. Aku merasa aku tetap butuh penerbit. Maka aku beralih ke penerbit indie dan mencoba untuk mengambil paket penerbitan. Kusisihkan uang berbulan-bulan dan rela untuk hanya makan seadanya selama kuliah demi membeli paket penerbitan itu.

Aku punya satu naskah yang disukai pembaca di facebook, dan aku ingin menjualnya dalam bentuk buku. Siang malam aku mendesai cover sendiri, melayout bukunya sendiri, dan mengabaikan Ujian Tengah Semesterku hingga jatuh sakit. Hasilnya hanya terjual 20 eksemplar, dan 20 orang yang membeli itu aku doakan dalam diam semua yang terbaik di dunia ini, meski ada yang membelinya tidak dengan uang, melainkan dengan mochi. Tapi mereka adalah dua puluh orang terbaik yang membuatku merasakan hidupnya mimpi kecilku.

Meski hanya sebentar.

Karena kemudian penerbit itu memberitahu jika bukuku akan ditarik. Meski memiliki ISBN, tapi isinya fanfiksi. Mereka takut ada tuntutan hukum di kemudian hari.

Aku mengerti, dan menutup uforia singkat itu dengan sendu.

Aku kembali menulis sebuah naskah yang belum sempat kuselesaikan sejak Sekolah Dasar, rencananya untuk lomba. Tapi saat itu aku sudah semester akhir dan bahkan mulai berkuliah lagi di universitas berbeda. Takut gila, aku pun menghentikan penulisan naskah itu. Meski kemudian aku mencoba membuat usaha terakhir dengan menghubungi salah satu penerbit indie. Tidak tanggung-tanggung, mereka langsung memintaku bertemu.

Aku ingat, hari itu di Taman Topi, Bogor. Aku nekat pergi sendiri dengan naskah di tangan. Untuk pertama kalinya aku bertemu dengan seeorang yang merupakan editor dari penerbitan. Kami berbincang, dan semua pembicaraan itu bagai pil pahit yang mengubah perspektifku tentang dunia penerbitan.

Buku itu tidak cukup. Jualan buku aja gak bakal nutup biaya produksi. Penerbit gak cuma butuh naksah bagus, tapi penulis yang terkenal. Minimal, dia sudah punya nama dan pembacanya sendiri. Penerbit gak mau ngambil resiko dengan menerima naskah dari penulis yang gak punya nama karena biaya produksi itu gak murah.

Akhirnya aku pulang dengan naskah yang jadi saksi tangisanku sepanjang jalan pulang.

Aku berhenti menulis. Dan sempurna menutup usaha untuk mewujudkan mimpi itu.

Hingga akhirnya 2018 aku kembali ke dunia penulisan online. Agak terlambat karena wattpad tak lagi tren. Tapi saat itu aku hanya menulis, karena wow aku gak bisa gak nulis ternyata. Bertahun-tahun vakum dan hidup tanpa menjalankan hobi ternyata sukses membuatku merana.

Tapi salahnya, aku menulis fanfiksi.

Hal yang tak bisa dijual. Meski aku tahu di toko buku justru banyak buku yang pertamanya dipublish di wattpad yang terang-terangan memakai sampul wajah idola.

Jika saja aku menulis fanfiksi di wattpad beberapa tahun lebih awal, saat waktuku masih banyak dan penghasilan bukan hal yang harus kutanggung sendiri. Mungkin ceritanya akan berbeda. Di umurku sekarang, aku tak bisa lagi melihat tulisan sebagai kesenangan lagi. Tuntutanku banyak, kewajibanku banyak. Dia tak lagi cukup diselesaikan dengan menyisihkan uang jajan selama berbulan-bulan.

Tapi di sisi lain, aku sudah sangat lelah dengan penerbitan.

Meski mungkin aku masih membutuhkan.

Mungkin.

Diposkan pada Belajar, Prosa, Sebuah Cerita, Tulisan

JYP Entertainment Itu… 3.0 (Sebuah Curhatan Terbuka Dari Penggemar Lama yang Takut Di-bully karena Sering Ngebela Agensi)

Butuh waktu lama buat aku memutuskan untuk menulis ini. Anggap saja curhat, karena aku sadar diri teman-teman seumuranku sudah jarang yang masih bergelut dengan dunia musik korea. *hela napas*

Ini adalah tulisanku tentang JYPE yang tidak bermaksud untuk berseri namun nyatanya telah sampai di bagian tiga. Tulisan terakhir sepertinya ada di tahun 2017 lalu dan yang pertama di tahun 2014. Sudah cukup lama.

Dan selama itu, aku sadar kalau aku sudah semakin tertinggal.

JYPE semakin besar, artisnya semakin sering datang silih berganti, penggemarnya semakin banyak, dan… semakin ribut.

Tahu apa yang melelahkan?

Jika di dua tulisanku sebelumnya aku menulis tentang JYPE sebagai usaha menjelaskan pada orang lain yang tidak menyukai artisnya, tapi sekarang aku harus menuliskan ini untuk orang-orang yang justru menyukai artisnya. Kasarnya, jika sebelumnya aku berperang melawan pihak luar, sekarang aku harus berperang melawan teman sendiri.

Aku tahu mungkin penggemar-penggemar lama sepertiku ini kadang menyebalkan, sombong karena sering bawa-bawa kartu ‘tahu dari nol’ atau kenal dari awal debut, seolah-olah pengen dihormati sebagai senior.

Tapi di balik itu semua, kami sebenarnya gagap dengan perubahan.

Kami yang dulu bisa dengan mudah ‘menjangkau’ si artis karena belum terlalu terkenal, kami yang dulu merasa dekat dengan menyaksikan si artis yang masih buluk berbagi cerita tentang mimpinya untuk naik daun, kami yang bersama-sama dengan lingkaran kecil berusaha untuk ‘meracuni’ siapa saja untuk punya kesukaan yang sama, kami yang menyaksikan bagaimana si artis jatuh bangun tak dikenali. Kami, adalah segelintir orang-orang yang mungkin menyebalkan itu.

Kami tentu saja bangga dengan perubahan dan perkembangan si artis. Meski terlihat misuh, jauh dalam hati ada rasa haru karena bisa melihat idola menjadi mentereng, bak bapak petani yang melihat malika menjadi kecap yang disukai banyak orang.

Dan tahukah, aku merasakannya gak cuma pada satu artis, tapi banyak, bahkan pada agensinya sendiri.

Jika harus buka kartu, dan bisa dilihat sendiri dari titimangsa semua tulisanku di blog ini, aku menyukai JYPE dari 10 tahun lalu. Dari kantornya super sempit dengan kubikel yang berdesakkan, dari sebuah gedung kecil depan toko donut, hingga akhirnya bisa punya gedung bertingkat di pinggir jalan besar.

Sebagai orang yang pernah belajar dari sekolah kepunyaan Kementerian Perindustrian, aku sejak dulu kagum dengan bagaimana industri KPop berjalan. Aku belajar banyak soal bagaimana industri mereka bekerja, dan karena itu kemudian simpatiku jatuh pada JYPE. Aku juga senang dengan dunia seni, karena itu aku juga selalu berusaha memahami apa yang diinginkan artis dan karyanya dari sudut pandang idealisme berkarya; terlepas dari urusan modal dan bisnis yang dijalankan agensinya.

Selama bertahun-tahun bergelut menjadi penggemar artis-artis JYPE, aku sempat ngerasa kesepian. Gak ada temen. Artisnya gak dianggap. Teman-teman yang  menyukai musik Korea, jarang yang suka dengan artis JYPE. Sekalinya ada yang terkenal, dihujat rame-rame. Tapi aku gak bisa lama-lama stres, karena lingkaran pertemanan dengan sesama penggemar artis-artis JYPE itu sangat menyenangkan. Tidak besar, tapi sekali lagi; menyenangkan.

Tapi saat satu persatu mereka berhenti dan lepas dari dunia ke-korea-an, waktu berganti, artis baru muncul, semakin terkenal, JYPE tumbuh tak terkendali, sempat menggeser SME dalam hal market share, saat itulah aku ngerasa harus menelan pil manis dan pahit sekaligus.

Memang menyenangkan karena kini bisa bertemu dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama dengan mudah, tapi melihat pertengkaran karena hal sepele antar penggemar artis yang sama-sama berada di naungan JYPE juga gak kalah mudahnya. Orang-orang mulai punya pembanding soal cara promosi dari artis lain, orang-orang mulai lupa dengan esensi menikmati karya dan tergerus arus indutrialisasi dan euforia kemenangan. Menginginkan pengakuan sebagai yang terbaik memang tidak salah, tapi kalau sampai membuat ketidaknyamanan dan pertengkaran, itu yang salah.

JYPE memang bukan perusahaan terbaik, sejak dulu aku sudah tahu. Apalagi di tulisanku yang pertama aku mengumpamakan artisnya sebagai orang yang tidak akan membuat orang suka karena talentanya, tapi karena bagaimana mereka berproses untuk menunjukkan talentanya. Kau akan suka dengan bagaimana Junho dan Jun.K 2PM yang dulu member underrated kini menjadi anggota yang paling terkenal di Jepang, kau akan suka dengan bagaimana JB berusaha menunjukkan jika lagunya layak untuk didengarkan, kau akan suka dengan cerita perjuangan 3Racha sebelum mereka debut, kau akan suka dengan bagaimana semua angota Twice terus terasah kemampuannya menyanyi seiring waktu, kau akan suka dengan perjuangan anak-anak Itzy untuk debut, juga dengan semua artis solonya yang terus bertransformasi menjadi musisi berkelas.

Kau akan selalu bisa belajar sesuatu dari mereka, bukan hanya haha-hihi idolaku ganteng atau cantik. Tapi kau bisa menemukan motivasi untuk melakukan sesuatu berharga dalam hidup, yang walaupun berbeda bidang, tapi spirit-nya tetap sama.

Aku jelas akan selalu rindu dengan keadaanku saat JYPE masih menjadi perusahaan kecil yang ‘terpaksa’ dikategorikan Big3 meski penjualannya hanya sepesepuluh dari YGE. Tapi jelas aku tak bisa menghentikan mereka untuk bertumbuh dengan modal yang semakin besar, dan mungkin menjadi tempat yang kurang nyaman bagi idealisme beberapa artisnya sehingga memilih untuk keluar.

Karena sebenarnya, itu wajar, sayang.

Artis keluar dari agensi itu wajar, dan itu bukan kesalahan siapa-siapa.

Tak ada yang salah dari artis yang keluar karena kontrak habis. Tak ada yang salah dari penyanyi yang lebih sukses setelah keluar dari JYPE. Tak ada, sayang. Cobalah belajar tentang bagaimana bisnis berdinamika, dan sudut pandang seorang artis yang ingin tetap mempertahankan idelisme-nya tanpa campur tangan para pemodal yang mementingkan keuntungan.

Tak ada yang salah, sayang.

Yang salah adalah, kita terjebak dalam bias sehingga terlalu membenci dan mencintai. Kita menolak untuk tahu sudut pandang lain karena kita terlalu suka atau terlalu benci dengan agensi.

JYPE memang banyak kurangnya, aku tahu semua permasalahan mereka, dari mulai seremeh subtitle konten yang terlambat hingga masalah sosok Park Jin Young yang suka body shaming, atau dianggap narsis, atau nakutin. Yeah, subjective opinion tapi aku tahu banyak yang setuju soal itu. Soal marketing juga, soal kerjaan ke artis yang terkesan overwork, soal promosi di varshow, dan sebagainya yang bisa lebih banyak dari inti tulisan ini kalau diuraikan.

Tapi apakah dengan kebencian itu kalian jadi gak mau membuka mata bahwa si artis pernah belajar banyak di agensinya? Gak cuma soal nyanyi dan nari, sesederhana cara jalan, cara ngobrol di publik, hingga pengetahuan industri secara keseluruhan, darimana si artisnya bisa dapatin itu? Di balik cacian penggemar soal outfit yang jelek, ada puluhan orang yang udah berusaha membuat si artis tetap cantik, gak peduli merekanya sendiri bau ketek.

Dibalik kebencian itu, apa kalian tidak mau membuka mata bahwa si artis dapat penghasilan dari agensinya? Ketika si artis udah bisa beli apartemen mewah, staf agensi mungkin tetep pulang ke rumah sederhananya dan cuma kebagian takjubnya doang. Artisnya udah bisa tidur, manajernya masih harus nyusun jadwal. Artisnya udah kelar syuting, stafnya masih gadang ngedit hasil rekaman. Artisnya udah pindah agensi dan makin terkenal, staf JYPE masih di kerjaan yang sama dengan gaji yang sama. Orang-orang di agensi tuh gak punya fandom gais, mereka mau diprotes terus pun gak yang ngebela.

Dibalik kebencian itu, apa kalian juga gak mau membuka mata kalau para atasan di agensi harus terus bertaruh dengan uang milyaran bahkan triliunan setiap kali mau mempromo artis? Uangnya jelas bukan uang pribadi, tapi uang investor yang jumlahnya mungkin ratusan setelah mereka beli saham. Mereka harus siap kalau si artis kurang diminati, sedangkan uang udah keluar dan mereka harus tanggungjawab sama banyak orang.

Industri Korea itu keras banget. Keras banget. Sedangkan si artis, stafnya, agensinya, adalah manusia, sama dengan kita yang juga manusia. Sama-sama gak sempurna. Terus kenapa ngeluh segalam macam sampe lupa kalau koreaan itu buat bahagia?

Tapi meski sudah sadar itu, jangan terlalu cinta dengan agensi juga. Karena mereka tetep perusahaan yang nyari profit, bukan lembaga nirlaba. Ingatkan kalau ada yang salah, JYPE jelas lebih terbuka dibandingin dulu. Jangan ragu buat ngerasa kecewa dan ‘memarahi’ saat mereka bikin kesalahan. Bantu beberapa penggemar yang ingin menyuarakan hal yang dikira perlu pada agensi. Kan kita itu customer mereka, jadi pendapat kita pasti didenger kok. Pokoknya jangan mendewakan, biasa aja.

Aku mungkin terkesan membela agensi kayak yang aku tulis di judul, tapi aku yakin aku gak mungkin bisa tahan bertahun-tahun nyari hiburan dari JYPE setelah tahu banyak hal kebobrokan mereka. Harusnya aku udah ilfeel, apalagi terus beberapa kali dipojokin dan capek sendiri lihat orang yang lempar bom verbal. Tapi menurutku, selama aku bisa nemuin alasan yang logis dari semua kesalahan yang JYPE lakuin, aku masih mau nunggu bakal sejauh apa mereka berkembang.

Lagian, sebagai sesama manusia, yang juga menggemari hal yang sama, kenapa gak saling berbagi bahagia aja sesuai tujuan dari semua ini sebagai hiburan belaka? Jadi, berhenti bertengkar dan lebih baik dalam berututur bisa kan?

 

 

NB.

Aku menulis dengan gaya yang tidak terlalu curhat mengenai JYPE di wattpad. Beberapa topik yang dianggap permasalahan di JYPE akan aku coba urai disana dari sudut pandang netral.

Diposkan pada Abstrak, Sebuah Cerita

Hei, Aku Nulis Fanfiksi Lagi

Aaaaiiiihhh kangen betul sama blog ini T_T

Pengen diberesin biar gak ketahuan tulisan-tulisan jadulku yang gak berbobot macam tubuhku, tapi jumlahnya udah kebanyakan, Jadi ya, biarlah. Biarkan mereka jadi bagian dari perjalananku belajar nulis dari enam tahun lalu #udahlamabloginiteh. Tapi kalau nemu tulisan lamaku jangan dirundung, ya. Maklumin aja.

Apalagi kalau nemu postingan soal fanfiksi, udah diemin aja. Walau mungkin bikin malu, tapi sebenarnya mereka itu punya jasa yang gede banget. Fanfiksi adalah jalan pembuka aku untuk mulai pede nunjukin tulisan ke orang-orang. Sejak kecil aku selalu ngerasa malu dengan hasil tulisanku sendiri. Kayak ngapain sih gak penting kan gak bagus.

Tapi sejak mulai belajar nulis Fanfiksi, aku mulai terbiasa nunjukin ke orang-orang. Tahu respon pembaca, komentarnya, kritikannya. Dan itu MENYENANGKAN. Ya, walau efek sampingnya dari fanfiksi ini aku terjerumus ke dunia perkoreaan sampai sekarang, hahahahaha.

Kalau orang lain suka Korea dulu baru nulis fanfiksi, aku sebaliknya, wkwkwk.

Tapi, sejak dihantam kenyantaan hidup bertubi-tubi, aku berhenti nulis. Ya, nulis gaje di blog aja jarang kan sekarang. Boro-boro mimpi buat jadi penulis, mimpi bisa ngasilin tulisan aja syulit. Akhirnya, aku mau pengen nyobain lagi menstimulasi semangat nulisku dengan buat fanfiksi lagi.

Kali ini, biar gak barala di blog aku bikin akun Wattpad. Yuhu!

Silahkan yang mau lihat-lihat, bolehlah ditengok kesini: https://www.wattpad.com/user/meilindawandhani

Belum banyak tulisannya karena aku masih mulai pemanasan lagi. Doain semoga setelah satu seri fanfiksi selesai aku bisa ngelanjutin Hujan Dibalik Jendela lagi! –naskah yang harus selesai bulan Juli nanti karena itu udah ngendap seumur hidup cuy, udah dari SD aku punya idenya. 

Sampai jumpa disana ya! I love you (sama kamu yang mau baca)!

Diposkan pada Abstrak

Harapan

Where there is hope, there are trials.

Kalau dilihat lagi, kalimat itu kalau diartikan berarti dimana ada harapan, disana ada percobaan-percobaan. Kalimat pertama sebelum koma bentuknya singular, sedangkan kedua plural. Itu berarti harapan yang dibutuhkan cuma satu, untuk bisa menghasilkan sekian banyak percobaan.

Harapan. Satu hal yang tak ingin aku ajak berteman baik sejak dulu. Karena aku takut hal menyakitkan akan terasa jika ia tidak terjadi. Aku ingin terjadi tak terjadi rasanya sama saja.

So emotionless? Maybe.

Nyatanya disangkal bagaimana juga, hati punya caranya sendiri untuk mengundang harapan. Persis seperti antibodi yang bisa dihasilkan sendiri oleh tubuh untuk mengalahkan virus penyakit yang datang. Karena, hei, siapa yang tahu kita akan jadi apa besok? Apa yang akan terjadi setelah ini? Memang apa yang menggerakan kita menyetel alarm untuk pagi hari sebelum kita tidur? Bukankah kita tak pernah tahu apa kita akan terbangun lagi? Ya, dia si harapan itu. Dia bilang, siapa tahu pagi akan kembali datang, memberikan hari yang lebih baik. Sehingga kita bisa melewati gelapnya malam dengan tenang.

Tapi, entahlah. Aku masih dalam masa mengumpulkan puzzle diri yang berantakan disana-sini pasca terjatuh berkali-kali. Jadi semua yang terjadi memang terasa membingungkan, aku tak tahu lagi apa nama perasaan yang mengikuti suatu kejadian. Aku jadi sering kebingungan dengan emosi yang aku tunjukan, tawa keras tidak berarti aku sedang bahagia, banyak bicara juga tidak berarti aku sedang bersemangat.

Sayangnya, tidak semua orang punya pengetahuan jangan pernah menilai seseorang jika kau tak pernah mencoba berjalan dengan sepatunya. Sesungguhnya 2 + 2 = 4 itu hanya ada di matematika, dalam kehidupan satu premis ditambah premis lain tetap bisa menghasilkan konklusi yang tak terduga. Bahkan diluar logika. Maka selagi aku sibuk menata puzzle diri, terkadang semua kembali acak terhambur karena penilaian orang-orang terhadap topeng yang aku tunjukan.

Memang aku terlalu naif, dan diam. Tapi dalam komunikasi, diam juga adalah bentuk komunikasi. Hanya tong kosong yang nyaring bunyinya, kalau dia diam, itu karena dia penuh. Terlepas apa saja yang memenuhinya, benar atau salah, baik atau buruk, menyenangkan atau menyakitkan, harapan atau rasa putus asa.

 

(quote di atas adalah potongan lirik dari lagu BTS berjudul Sea.)

Diposkan pada Sebuah Cerita, Versus

OPEN LETTER TO MYSELF

Introvert, awalnya aku menganggapnya sebagai kelemahan. Karena ia menyebabkanku terjebak dengan banyak kesulitan yang disebabkan oleh diriku sendiri, tak nyaman dengan banyak orang, sulit untuk mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan, beban dan masalah begitu sulit untuk dibagikan, tak mampu untuk menunjukan kemampuan diri, aneh, merasa terasing, dianggap pemurung, yeah I totally not interesting person.

Istilah introvert sudah aku kenal sejak bangku sekolah, penyebabnya karena aku sadar bahwa ada yang aneh dengan diriku. Aku punya banyak sekali pemikiran dalam kepala, tapi saat harus diutarakan, dia hanya bisa berbentuk satu dua kalimat yang berantakan dan sungguh tidak keren. Bahkan seringnya dia harus aku telan begitu saja.

Entahlah dari mana awalnya, mungkin dari buku pengembangan diri yang aku baca saat putih-biru. Aku pinjam berbulan-bulan untuk aku tulisi dan kemudian menghapusinya sebelum dikembalikan. Yang aku ingat dari buku itu adalah diagram pertemanan. Saat itu kelasku memang begitu dramatis dengan sekian belas murid akrab masalah. Dari mulai sekedar minuman keras hingga pertengkaran jambak rambut ala sinteron. Sehingga, aku menempatkan diriku di lingkaran paling jauh dari siapapun dalam diagram. Aku memilih satu dua teman yang aku anggap bisa aku ajak sedikit berbagi untuk diletakan di lingkaran yang agak dekat.

Sisanya, aku sendirian. Semuanya. Bukan hanya artian fisik, tapi juga psikis.

Pemahaman tentang introvert agak meningkat sekaligus mengabur saat putih abu. Aku bersekolah di sekolah yang mayoritas adalah siswa laki-laki. Tiba-tiba saja kekompakan dan kebersamaan menjadi nilai yang diagungkan untuk siswa perempuan karena jumlahnya yang sedikit. Ada ikatan yang dipaksakan namun kemudian hidup diantara siswa perempuan. Maka kemudian aku mulai terbiasa dengan bersama-sama. Juga menjadi perhatian, juga bicara.
Meski untuk yang terakhir itu tak berhubungan dengan apa yang sebenarnya aku rasakan. Karena tampil di depan umum sebenarnya sudah menjadi paradoks tersendiri bagiku, memang benar aku malu dan harus menghancurkan dinding tebal yang kubangun sendiri untuk melakukannya. Tapi sejak sekolah menengah pertama pun ternyata aku sudah sering melakukannya, dari sekedar story telling dengan blank sekian menit didepan juri hingga membaca puisi diatas panggung.

Maka di sekolah menengah atas, hal itu kemudian terjadi lagi. Aku pernah menjadi pembawa acara dadakan acara agustusan, hingga kampanye pemilihan ketua OSIS disaksikan guru dan siswa satu sekolah yang sembilan puluh persennya adalah laki-laki dengan celetukan-celetukannya yang membuatmu terlihat bodoh. Bahkan lelucon kampanye itu tetap hidup selama berbulan-bulan dan terus diulang seperti musik latar setiap kali aku lewat di koridor sekolah.

Aku baik-baik saja, dan aku bisa melewati semua itu tanpa masalah. Aku bisa menyelesaikan setiap kegiatan public speaking itu, terlepas berhasil atau gagal, terlepas menjadi lelucon atau tidak.

Tapi untuk mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan, aku masih payah. Aku bahkan tak mengatakan pada siapapun di rumah bahwa besok aku akan kampanye didepan orang banyak sebagai satu-satunya kandidat perempuan. Aku pun tak bisa mengatakan pada siapapun betapa menyebalkannya melihat wajah dan namaku terpampang disetiap sudut sekolah sebagai salah satu kandidat ketua OSIS. Juga betapa menyedihkannya aku saat lelucon-lelucon itu terlontar. Hei, bahkan aku tak bisa menolak saat semua orang di satu jurusanku mendorongku untuk mencalonkan diri. Saat itu sebenarnya aku merasa seperti didorong ke jurang, tapi aku tak cukup pintar untuk membela diri.

Maka kemudian aku sadar bahwa introvert tak selalu mereka yang menghindari perhatian publik.

Masuk bangku perguruan tinggi, semua yang terjadi lebih kompleks dari sekedar foto yang tersebar di sudut sekolah. Aku memang kuliah, tak penah bolos. Bahkan untuk mata kuliah yang paling membuatku merasa kerdil sekalipun. Kehidupanku biasa saja, aku bahkan masih menonton video KPop untuk menghibur diri.

Tapi, sebenarnya aku punya konflik luar biasa dengan diirku. Sampai-sampai aku menganggap diriku memiliki bipolar disorder, dengan episode depression dan manic yang sangat ekstrim. Semua pemikiran itu mungkin sedikit tergambar disini. Karena blog ini aku buat sejak SMK, niat awalnya muncul karena ucapan seorang guru. “Menulislah sesuatu yang baik di internet, barangkali itu bisa jadi amal jariyah.” Meski apa yang aku tulis kemudian tak semuanya berguna, ia lebih banyak berperan sebagai tembok pendengar yang siap mendengarkan cerita apa saja tanpa peduli betapa njelimet-nya ucapanku.

Karena anggapan itu aku mulai menyadari ketertarikanku pada psikologi. Aku sering mengikuti seminar bertemakan kejiwaan(?) dan berpergian sendirian keliling ibukota dengan busway. Aku suka perjalanan, meski sendirian, meski tak ada tujuan yang jelas. Perjalanan itu sama dengan seminar piskologi yang aku ikuti: memberikan ‘sesuatu’ padaku. Meski ‘sesuatu’ itu sekedar rasa haru saat mendengar adzan magribh ketika menunggu kopaja di terminal Blok M. Jika sedikit beruntung, aku akan bertemu orang asing yang baik, menawarkan payung saat hujan, menunjukan jalan saat tersesat, menawarkan tempat duduk saat lelah di angkutan umum. Bagiku itu adalah pelajaran berharga yang tak bisa aku dapat di perkuliahan.

Hingga tentang bipolar itu, aku sadar kalau aku tak bisa menyimpulkannya sendiri tanpa pemeriksaan dari psikiater. Dan aku bisa meyakinkan diri bahwa aku tak memilikinya. Sebagai hikmahnya, anggapan itu memaksaku punya ilmu lebih untuk mengenali diri sendiri dan juga orang lain.

Memang benar, manusia terlalu kompleks untuk dikotak-kotakan menjadi introvert dan ekstrovert. Keduanya hanya ukuran untuk mengukur kecenderungan dan memahami pola perilaku yang bisa kita tunjukan.

Karena itulah, aku kemudian tahu jika aku tidaklah aneh.

Introvert mungkin seperti tak banyak –karena mereka bersembunyi-, tapi ada begitu banyak tokoh dunia yang biasa ada di buku-buku pelajaran ternyata adalah seorang introvert. Bahkan dari tes MBTI (Myers-Birggs Type Indicator, psikotes yang dirancang untuk mengukur preferensi psikologis seseorang dalam melihat dunia dan membuat keputusan) – aku mencobanya dua kali saat kuliah di web berbahasa inggris dan satu kali di web berbahasa Indonesia beberahapa hari yang lalu. Dan hasilnya tetap sama: INFJ, aku menemukan ada banyak tokoh yang juga bertipe sama denganku, dari mulai Plato, Carl Gustav Jung, Nicole Kidaman, Martin Luther King, Jr., Nelson Mandela hingga Adolf Hitler (tapi percayalah aku tak sekejam itu xD).

Oh ya, beberapa hari yang lalu juga BTS dalam event Festa-nya menyertakan hasil tes MBTI tiap anggota, dan seperti dugaanku, mereka didominasi oleh introvert –meski melenceng satu orang, aku pikir ada lima orang, ternyata hanya empat. Tiga diantaranya bahkan satu tipe.

Namjoon, sang leader. Hobi baca buku, IQ lebih tinggi dari Albert Eintein. Fasih berbahasa inggris dengan otodidak. Bisa menemukan diksi untuk rap freestyle dengan baik. Ucapan dan lirik buatannya juga penuh filosofi. Mengaku tak memiliki banyak teman dan terkadang sering terlihat seperti ‘hilang’ saat berada di kerumunan. Sering diprotes karena hanya mendengarkan musik dan memisahkan diri.

Yoongi, anggota yang seumuran denganku. Kepribadiannya terbentuk kuat karena pengalaman hidup. Lirik yang ia buat sebagian besar adalah tentang kehidupannya. Disegani, sulit mengungkapkan perasaan, menunjukan perhatian diam-diam, bicara apa adanya, malas kemana-mana bahkan hanya untuk keluar kamar, menyukai fotografi dan sering mempublikasikan hasil fotonya sendiri, tidak suka keramaian, dan sering bangun pagi buta untuk membuat lagu dengan alasan sepi.

Seokjin, anggota tertua. Dewasa, canggung, tulus, tak bisa dibedakan saat ia marah betulan dan tidak, mungkin dia terlihat narsis tapi aku merasa itu hanya untuk menutupi hal yang ia anggap sebuah kelemahan, akhir-akhir ini jadi banyak melawak tapi itu tak mencerminkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Aku merasa tuduhan sebagai anggota modal-tampang dan tekanan untuk bisa menyanyi lebih membuatnya terpengaruh. Mudah berbaur namun sangat memilih orang yang ia bisa percaya dan menjadi tempatnya berbagi mengenai hal yang sebenarnya ia rasakan.

Jungkook, anggota paling muda. Bisa melakukan hal apapun dengan baik, karena masih dalam masa pertumbuhan(?) sebenarnya sikap dia paling banyak berubah-ubah, tapi dia tak pernah mengeluh, cenderung memendam perasaan, hobi fotografi dan main game, sikapnya sangat berbeda saat didepan orang-orang yang ia anggap dekat dan saat ada orang yang agak asing. Mungkin jika ada yang pernah melihat video saat ia pertama kali masuk SMA, bisa terlihat bagaimana ia menjaga jarak dan tak mau berkomunikasi dengan teman-teman dikanan kirinya. Berkali-kali pun dia bilang jika ia tak punya teman, hingga di satu acara yang mengharuskan para idol kelahiran 97 perform, ia mengaku mulai dekat dengan beberapa teman idol yang seumuran.

Jika ada yang tahu, mungkin bisa membandingkan keempatnya dengan tiga orang lain yang berkepribadian ekstrovert: Hoseok, Jimin, dan Taehyung. Bandingkan keterbukaan mereka, cara menunjukan perasaan dan perhatian, atau mudahnya mereka berteman dengan siapa saja. Bagaimana mereka menunjukan kemampuan diri dan mendapat energi karena ada diantara banyak orang.

Maka poinnya, Mei. Apa kau sudah menemukannya?

Surat ini adalah satu dari sekian banyak surat yang kau tulis untuk dirimu sendiri dan kau putuskan untuk dibagikan di blog ini. Bisa terbaca oleh orang lain yang bahkan tak mengenalmu. Bisa terbaca bahkan jika nanti kau sudah meninggal dunia.

Tentang kehidupan ini…

Ah, mari kita menarik nafas dan menghembuskannya lagi. Kau terlalu sering memikirkannya. Hingga lupa untuk tak tertawa saat mendengar masalah orang lain yang kau anggap kecil. Rasa syukur dan empati, adalah dua hal yang tengah kau bangun bukan?

Kau tahu tentang kesementaraan. Juga tentang bagaimana Allah dan segala kemahaaNya. Hanya terkadang kau memang lupa, dan semoga tulisan ini bisa mengingatkanmu lagi. Ayo jalani hidup dengan lebih baik dan positif. Perjalanan yang sudah kau lewati mungkin terlihat sangat panjang, tapi sebenarnya sebentar saja.

Diposkan pada Abstrak, Sebuah Cerita

Rezeki

Dua ribu dua ratus rupiah, adalah jumlah pendapatan pertamaku hasil berdagang permen karet dan makanan ringan lain. Saat aku duduk di kelas lima SD. Saat perjalanan pulang, aku terus memandangi uang-uang itu, dan meyakinkan diri bahwa aku tidak akan pernah melupakan mereka.

Aku tidak punya bakat berdagang sebenarnya, aku melakukannya karena paksaan ibu. Sebagai orang pemalu dan pendiam, menawarkan seseorang untuk membeli daganganku nyaris mustahil. Lebih dari itu, matematiku payahnya gak ketulungan. Ngasih kembalian atau menghitung penjualan itu susah sekali. Tapi hei, hari itu, ternyata aku punya uang sendiri.

Sampai lulus SD aku masih membawa dagangan ke Sekolah –ke dalam kelas lebih khususnya. Jenisnya beda-beda, dari makanan ringan macam makaroni hingga buah manggu yang super berat. Alasannya, kadang-kadang kakekku sebagai penyuplai barang minta tolong untuk dijualkan. Kalau sudah begitu, kadang buah-buah itu busuk karena tak terjual. Beban dalam benakku lebih berat daripada kresek dagangan yang ku bawa. Aku tidak pandai berdagang, sungguh.

Tapi saat itu ada mini market buka di dekat sekolah, ia langsung terkenal karena saat itu konsep swalayan belum pernah ada. Setiap istirahat, banyak teman-teman yang beli es krim kesana. Uh, bukan es krim kacang hijau seratus-dua ratus dalam plastik unyil, tapi itu punya merk.  Rasanya pun sudah tentu, pasti –atau mungkin- sangat enak. Karena tertarik, maka sekali waktu aku ikut rombongan ikut ke mini market. Saking kampungannya, aku gak baca harga es krim dan langsung menuju kasir.

Beruntung teman-teman yang lain sudah meninggalkanku sendirian saat itu. Karena yang terjadi adalah, harga es krim itu jelas lebih mahal dari yang aku perkirakan. Kasir sudah men-scan barcode dan meunggu pembayaran. Sedangkan aku hanya bengong, karena meskipun uang sakuku masih utuh hari itu –seribu rupiah- tetap saja tak akan bisa menebus es krim menggoda itu. Maka dengan polosnya, aku bertanya pada kasir, bolehkah aku membayar setengah harga dulu dan melunasinya besok.

Ah.

Jelas aja Mbak Kasirnya geleng kepala. Maka dengan sedih hati aku bilang aku gak jadi beli es krim itu dan mengembalikannya sendiri. Karena malu, aku lalu mengambil sebuah minuman serbuk sachet dan bilang jadinya akan membeli itu. Perkiraanku benar, harga minuman serbuk itu jelas lebih murah dari uang yang aku punya. Aku pun berhasil membawa pulang sang minuman itu dan bertingkah seolah tak ada kejadian bodoh didepan teman-teman yang sedang menikmati es krimnya.

Maka uang dua ribu dua ratus itu membawa banyak arti bagiku.

Semasa SMP aku tak berdagang lagi. Malu, you know ngasih kembalian lama banget itu rasanya bodoh. Tapi entah bagaimana aku mulai bisa membeli barang pribadiku sendiri, dari mulai sabun muka, sampo, mencicil kertas HVS setiap pulang sekolah untuk mencetak naskah di rumah, hingga mengeposkan naskah sendiri ke penerbit. Uang sakuku dua ribu saat kelas satu, dan tak berubah banyak hingga aku lulus sekolah.

Masuk SMK aku mulai punya telepon genggam sendiri. Ibu memberitahu sebuah counter yang mau menerima penjual pulsa dengan sistem setoran, bukan deposit. Maka meski counter-nya jauh banget, dua kali naik angkot, aku ya daftar juga.

Duh, bingungnya gak ada dua. Berhari-hari aku cuma isi pulsa untuk kepentingan pribadiku sendiri. Aku gak berani ngasih tahu teman-teman lain kalau aku jualan. Berbeda dengan dagang makanan yang kelihatan dagangannya. Kalau pulsa yang kasat mata itu jelas gak bisa ketahuan kalau aku sendiri yang bilang. Hingga aku mulai memberanikan diri nawarin ke teman paling deket. Teman-teman perempuan yang hanya ada enam orang di kelas. Tapi ajaib, aku gak akan pernah habis pikir sama prosesnya sampai semua teman sekelas tahu aku jual pulsa. Bahkan aku sampai pernah tertipu ratusan ribu oleh seorang kerabat teman dan harus melibatkan orang tua untuk menyelesaikannya.

Di kelas dua, seorang teman yang berbeda kelas bahkan ikut jual pulsa di kelasnya lalu menyetor uang padaku. Pun seorang teman dari teman SMP yang berbeda Sekolah, juga ikut berjualan pulsa di Sekolahnya dengan menyetor uang padaku. Padahal aku yang gak jago ngomong ini gak pernah promosi apa-apa. Serius.

Maka jadilah hampir tiap minggu aku menyetor ke counter, dua kali naik angkot untuk berangkat, jalan kaki sedikit, lalu naik angkutan umum sekali saat pulang. Saat itu uang sakuku sudah dibiasakan per bulan, jumlahnya tujuh puluh lima ribu. Kalau udah mulai menipis, uang pulsa itu kerasa banget berharganya.

Karena kuliah diluar daerah, aku terpaksa berpisah dari counter baik hati itu. Di Jakarta, aku harus hidup dengan uang saku sembilan ratus ribu empat puluh ribu per bulan. Saat itu aku sudah punya modem, uang saku ketika sudah dikurangi uang kosan dan perkiraan uang makan, harga pulsa modem rupanya lumayan mencekik. Karena terbiasa mengisi pulsa sendiri, rasanya sedih saat membeli pulsa ke counter. Akhirnya aku nekat daftar jual pulsa secara online dan deposit lewat ATM. Kalau tanggal tua dan di ATM gak bisa ditarik lagi, aku lalu daftar jual pulsa di counter deket Kampus. Berbulan-bulan aku cuma deposit sejumlah uang pulsa yang aku anggarkan. Aku gak niat jualan sama sekali, aku isi pulsa hape dan modemku sendiri. Tapi, ah. Gak tahu gimana temen-temen sekelas pada akhirnya tahu.

Kagok edankeun. Kalau di LDK atau Teater bakal kegiatan atau pementasan, dan (pasti) ada Dana Usahanya, aku selalu kebagian jualin kue-kue basah di kelas. Udah kayak warung berjalan temen-temen bilang. Karena akhirnya, walau di organisasi gak ada kegiatan, aku selalu beli sendiri kue basah itu. Lumayan jauh sih, dua kali naik angkot pulang-pergi, jadi harus berangkat pagi-pagi banget. Tapi kalau misalnya gak habis, ya lumayan bisa dimakan sendiri. Di ruginya pun, tetep kerasa kenyang.

Tapi aku mulai berpikiran aku mulai bisa berdagang?

No. Gak sama sekali. Aku lebih sering rugi sebenarnya, mau itu pas jualan pulsa atau jualan kue. Mau itu uangnya kepakai atau uang setoran yang pasti selalu kurang. I don’t know why. Aku sering banget nombok dan berakhir dengan ngabengberah sorangan. Bahkan dengan doktrin wirausaha yang aku dapat selama perkuliahan pun. Kenapa ya, kenapa. Aku lebih sering bingung kenapa aku gak bisa. Kalau ada yang perhatikan (tapi aku yakin gak ada), dalam setiap kegiatan bertema kewirausahaan atau pengembangan diri berbau kewirausahaan, aku gak pernah nulis apapun soal mimpi punya usaha yang besar. Kecuali karena ada tekanan sosial lihat teman-teman lain punya redaksi mimpi yang berhubungan perusahaan, aku ya kadang jadi masukin. Tapi gak pernah muluk-muluk.

Maju, Empati, Ikhlas, adalah singkatan dari namaku saat kegiatan CEFE. Maju untuk urusan dunia, Empati untuk kebaikan orang lain, dan Ikhlas untuk urusan akhiratku. Udah sih, gitu aja. Aku dikasih ilmu dan banyak teori tentang kewirausahaan selama perkuliahan. Pertanggungjawabannya berat jika aku gak mengamalkannya. Apalagi ada harapan negara bro, karena aku hidup tiga tahun dari uang rakyat. Jumlahnya lumayan buat memperbaiki infrastruktur di timur Indonesia.

Ah, kumaha atuh.

Pulang ke kampung halaman, menunggu wisuda ibuku mengajak ke tempat ia mengajar dulu. Lumayan pedalaman tapi masih kejangkau angkot walau lewatnya untung-untungan. Dia bilang disana ada pembuat keripik singkong yang enak. Kita lalu beli berapa kilo gitu terus ngebungkusin sendiri.

Ya Rabb, aku gak mungkin bilang kalau aku udah berapa kali perang dingin sama ibuku –juga sama diriku sendiri- selama urusan dagang berdagang keripik itu. Apalagi sampai dapat suplier deket rumah kakek, beuh… makin menjadi. Tapi ya karena aku udah bilang disini ya sudahlah, aku mengaku banyak dosa sama ibuku. Bahkan ibuku sampai gak habis pikir kenapa aku masih aja gak mau berwirausaha padahal udah dari kecil kebiasa dagang.

Tapi bagi an introvert person like me, di dorong buat berinteraksi dan bertemu orang baru itu butuh energi lebih. Karena aku udah bisa bawa kendaraan sendiri –walau nabrak-nabrak-, aku nyari banyak warung atau kantin buat diitipin barang dagangan. Kenyang banget lah ketemu ibu-ibu pedagang atau bapak penjaga kantin yang ramah banget sampai jutek banget. Selama menjalani kontrak di Dinas –karena kuliahku ikatan dinas- tiap minggu aku isi sambil keliling nitip sama ambil dagangan. Aku gak pernah promosi sekalipun, paling sesekali di media sosial dan kemudian tenggelam.  Setiap pulang kerja pun, walau capek banget, aku pakai buat ngebungkusin dagangan sambil nonton video Korea biar gak ngantuk, wkwk.

Tapi, hei. Aku ngerasa gak pernah gak punya uang.

Bahkan di saat honor telat datang atau keadaan dagangan yang sepi sekalipun. Seenggaknya aku masih reugreug karena punya tabungan. Lebih ajaibnya lagi, aku bisa ngasih kembalian dengan kecepatan yang lumayan. Walau kadang salah, but it’s okay.

Tapi kalau harus bilang aku kayak robot, aku gak keberatan. Aku melakukannya semuanya sejak awal sesuai perintah dan kepepet kebutuhan. Tapi apa aku bahagia berwirausaha?

Aku pernah ditertawakan karena menyandingkan kebahagiaan dengan relalitas. Nabi Muhammad adalah pedagang, tujuh dari sepuluh pintu rejeki berasal dari perniagaan. Indonesia butuh lebih banyak wirausaha juga, yes, I know. Aku bahkan mengulang-ngulang materi kewirausahaan kepada peserta pelatihan. Kita gak boleh miskin, kita harus kaya, ok, how can I wanna be a poor.

Tapi…

Apa saat ini aku masih berwirausaha?

Jawabannya masih. Apalagi sejak tidak bekerja dan kembali berstatus mahasiswa sepenuhnya. Aku masih jualan pulsa dan masih bungkus-bungkus makanan. Tapi, aku harus akui mereka begitu flat karena hatiku gak ikut disana.

Meski kemudian aku sadar, rejeki itu… ah, Allah. Allah yang kasih. Kalau dilihat dari satu sisi, aku bisa saja mengeluh. Tapi nyatanya, rejeki memang gak cuma soal uang. Aku yakin, berdagang dan wirausaha hanya soal jalan saja. Uang dua ribu dua ratus itu hanya jalan saja. Sehingga aku tahu bagaimana sulitnya orang tua mencari nafkah. Hei, saat kecil, aku berjualan di sekolah bukan karena aku pantas dikasihani. Keadaan orangtuaku cukup baik dan kami masih terjangkau untuk beli daging sebagai lauk.

Aku juga jadi belajar berhemat dan bersabar untuk memenuhi keinginan. Aku tak pernah berprinsip untuk tidak memberatkan orang tua dengan tak meminta uang lebih pada mereka. Tapi itu terjadi begitu saja, karena uang dua ribu dua ratus itu.

Aku juga jadi belajar membuka diri dengan teman-teman sebaya. Di SMK, aku terlalu sering mendengar humor anak laki-laki sehingga tanpa sadar mulai tertular. Jika bukan karena jualan pulsa, sebenarnya tak ada seorang pun punya alasan untuk mengirim SMS atau berinteraksi lebih. I’m not interesting person. Begitupun kue-kue basah untuk kegiatan Dana Usaha. Aku yang menangis payah sebelum Ujian Akuntansi ini bisa mulai belajar memisahkan uang pribadi dan uang setoran, menghitung uang recehan dan punya catatan meski acak-acakannya gak ada dua.

Dan tentu saja, mulai berdagang sendiri dengan re-packing adalah yang paling berkesan. Dia membuatku terkadang merasa tak mengenal diriku sendiri, dia membuatku memaksa diri untuk berusaha lebih keras dari biasanya, hingga membuat diriku sendiri takjub, hingga membuatku ingin menepuk punggungku sendiri dan mengatakan bahwa aku luar biasa. Sebenarnya aku punya self esteem yang rendah. Sejak kecil aku minderan dan itulah kenapa aku merasa lebih rendah dari orang lain. Aku bisa dengan cepat menulis semua kekurangan tapi waktu sangat lama untuk menulis kelebihan diri. Sering dibanding-bandingkan dan beberapa pengalaman traumatis penyebabnya. Tapi, tak usah diceritakan lah.

Bahkan, hei, aku bisa menjadi pembicara di depan orang banyak. Membahas tentang kewirausahaan yang sebenarnya sangat payah aku praktikan. Pikirku, jika aku tidak bisa menjadi wirausaha yang baik dengan ilmu yang aku miliki, maka mungkin aku bisa membuat orang lain yang melakukannya. Sebagai pembicara aku juga tidak tergolong baik sebenarnya. Karena lebih seringnya aku membuat para pendengarku tidur.

Maka, hari ini aku masih disini. Tak punya penghasilan tetap. Menambah angka pengangguran terbuka negaraku tercinta dan beban hidup keluarga. Tapi apa rezeki dari Allah terhenti? Bahkan saat aku berbuat dosa pun Dia masih memberi kekuatan pada jantungku untuk berdetak. Aku hanya berharap diberi keajegan keyakinan seperti ini. Pandangan hidupku tentang dunia, rezeki, uang, pekerjaan, semuanya. Karena itu adalah rezeki terbesar yang pernah Allah berikan.

Oh ya, aku tidak sedang meratapi nasib atau desperate dengan masa depan. Aku hanya sedang menjalin lurus benang kusut dalam benakku yang memintal semenjak aku kecil.

Diposkan pada Abstrak, Sebuah Cerita

23 Things on 23 Years Old [3rd Thing: Music]

 


wings-short-film-1-begin_sc4


Hal menyakitkan dari masa sekarang adalah, ketika kau sudah merasa bisa memahami dan memandang hidup lebih luas, justru kau mendapati bahwa dunia tidak sebaik kahayalan masa kanak-kanak. Tidak semua hal baik, bahkan ketidakbaikan yang paling tidak baik itu juga ada dalam dirimu sendiri. Kau ternyata ambil bagian dalam ketidakbaikan dunia.

Dunia sangat ramai sekarang ini, dari lubang persembunyian paling dalam pun, kisah memilukan perang yang berkelindan begitu lama hingga tak bisa kupahami mana pangkalnya, datang dan perginya tren yang begitu mudah diikuti orang-orang, pernikahan seorang teman lama, hingga seseorang yang sedang sakit gigi, tiba dan sampai menjadi informasi yang kulahap dan diolah dalam pikiran.

Maka terkadang, jika begitu lelah, aku memilih bersembunyi lebih dalam. Tapi aku tetap tak ingin sepi, maka kuikutsertakan begitu banyak irama dan lirik lagu ke dalam persembunyian. Mereka adalah saksi, mereka adalah teman, mereka adalah musik.

wings-short-film-1-begin_sc2

Mereka adalah kesalahan.

Maka jika memang musik adalah sebuah dosa, maka mungkin tak terbayang seberapa besar dosa yang kumiliki.

Aku telah mengakrabi musik sejak kecil, ibuku pernah menjadi seorang penyiar radio dan aku salah satu pendengar setianya –meski hanya untuk memastikan kapan ia pulang. Musik menjadi teman ketika aku menulis karena ia begitu hebat membantu membangun imajinasi. Dia bahkan memiliki rangkaian kata pilihan bernama lirik yang kemudian disebut lagu. Jika mereka berpadu dengan baik, maka aku akan sangat setia mendengarkan bahkan hingga berkali-kali.

Karena aku suka dengan sesuatu yang membuncah dalam dada setiap berhasil menemukan lagu yang kuanggap baik. Buncahan itu, aku tidak tahu apa namanya. Dia membawa kebahagiaan, tak peduli sesedih apapun ia mendayu.

 

Mengering sudah, bunga di pelukan

Merpati putih, berarak pulang

Terbang menerjang badai

 

Potongan lirik Merpati Putih milik Alm. Chirsye ini tetap menjadi favorit hingga sekarang. Liriknya, musiknya, tetap menyenangkan untuk didengar. Aku tidak tahu nama perasaan itu, tapi jika ingin mencoba merasakan buncahan misterius itu, mungkin bisa dimulai dengan mendengar lagu ini.

Masa remaja, aku masih ditemani dengan banyak musik. Radio bahkan tidak pernah mati hingga aku tertidur dan menjadi alarm saat subuh menjelang dengan jadwal ceramahnya. Alasan utama aku melakukan itu, sebenarnya karena rasa takut tidur sendirian di kamar. Suara penyiar dan selingan musik menjadi teman membangun mimpi masa depan, atau sekedar membantuku melampiaskan emosi ketika gagal menemukan jawaban tugas matematika.

Ah, kenangan-kenangan itu.

Kotak musik kenanganku dimulai dari mulai artis-artis cilik dengan video klip sederhana berisi lirik lagu di bawahnya, hingga band awal era milenium semacam Peterpan, Sheila on 7, Element, Letto, Nidji, dan banyak yang lain. Aku tidak bisa hafal yang lain lagi sejak genre musik sedikit berubah. Kotak musikku kemudian tertutup.

Ah iya, genre baru itu, orang-orang menyebutnya genre melayu.

Entahlah, aku padahal senang lagu-lagu Siti Nurhaliza dan bahkan lagu Sabda Pujangga milik Dewi Yul, tapi kenapa tidak dengan musisi yang mengambil genre ini dalam musiknya? Lirik mereka juga berubah: putus, selingkuh, pengkhianatan, semua berlebihan, tidak masuk akal. Acara musik berubah menjadi lelucon, banyak tawa, tidak jelas, yang menyanyi semakin sedikit, itu pun hanya mengap-mengap, penonton bertingkah berlebihan, very annoying.

Maka di ujung fase remaja, aku berpaling pada KPOP.

Ah, kalimatku sepertinya terlalu straight, lurus.

Aku sebenarnya agak kesulitan mengakui menyukai KPOP karena terlalu sering terintimidasi dengan ketertarikanku pada musik Pop Korea. Aku jadi merasa bahwa kesukaanku ini tidak baik, tidak wajar, membuatku terlihat bodoh, tidak cinta tanah air, dan hal lain yang membuatku tidak bisa sama dengan teman-temanku yang lain.

wings-short-film-1-begin_sc1

Sudah cukup dengan hal-hal prinsip yang membuatku begitu kaku dan menjadi tidak sama dengan temanku yang lain. Kenapa aku mau susah payah menambah hal tersier yang membuatku seperti terisolasi?

Aku menyukai serial drama Korea sejak kecil, tapi hanya menonton sebatas lalu jika muncul di televisi. Alasannya sama, karena sinteron buatan dalam negeri tidak menarik. Aku merasa bisa membuat cerita fiksi lebih bagus dari itu. Padahal hingga Cinta Fitri season pertama aku masih kuat mengikuti.

Tapi untuk musik, aku akhirnya benar-benar jatuh cinta sejak tahun 2010. Alasannya, aku merasakan buncahan itu lagi saat aku mendengar salah satu lagu Korea di tahun tersebut. Rasanya lebih aneh karena aku tak mengerti satu kata pun di lagu itu, bahkan untuk kata bahasa Inggris yang menjadi bagian dari lirik pun tidak membantu karena pengucapan yang tidak sempurna.

Saat itu orang-orang yang tertarik pada KPOP masih sedikit, jangan tanya bahagianya saat bisa menemukan orang memiliki ketertarikan yang sama. Tak peduli grup yang disukai berbeda, pembicaraan akan tetap menyenangkan karena setiap grup punya karakteristik yang sama.

Kotak kenanganku tentang musik kini berganti lagi. Disini, aku menemukan diriku yang bisa mengenal begitu banyak orang dari dunia maya hanya karena pembicaraan tentang KPOP. Meski berjauham, beberapa bahkan sudah ada yang kuanggap keluarga. Kami berkomunikasi, dari pembicaraan tentang grup yang disukai hingga masalah pribadi. Dari sekedar berkirim doa, hingga hadiah benda yang sampai di depan rumah.

Di masa ini pula aku menemukan diriku yang menemukan kebingungan berat untuk kesekian kalinya. Nilai turun, ancaman tidak lulus, hingga tidak tahan dengan anggapan menyukai kepalsuan berkelindan menjadi satu.

Beberapa tulisan tentang KPOP mungkin adalah tulisan yang paling sering aku posting di blog ini, dari mulai resensi hingga tulisan abstrak penuh kegelisahan. Bagi yang belum pernah masuk dalam dunia KPOP mungkin agak sulit untuk memahaminya. Ya, anggap saja KPOP adalah dunia, karena ia terlalu rumit jika dikatakan hanya sebuah genre musik. Dia sama dengan banyak kegemaran lain, punya aturan, punya istilah, punya karakteristik-nya sendiri. Seperti jika yang tak menggemari olahraga, mungkin akan sulit memahami pembicaraan tentang pertandingan sepak bola atau berita transfer pemain. Atau yang tak menggemari games, akan sulit memahami pembicaraan tentang istilah permainan didalamnya.

KPOP adalah industri, industri hiburan lebih tepatnya. Konon, pemerintah Korea Selatan ikut membiayai industri ini. Tak heran jika rakyatnya membayar pajak, berarti ia ikut andil dalam membiayai industri hiburan negaranya. Sebenarnya industri hiburan Korea tidak hanya musik, tapi juga hal lain seperti drama dan film. Tapi membahas musik saja rasanya sudah akan cukup panjang.

Menjadi penyanyi dan masuk ke industri bukanlah perjuangan mudah, tidak cukup dengan punya follower banyak di sosial media atau mencari sensasi di televisi. Sejak remaja, bahkan di usia 10 – 12 tahun, mereka yang lolos audisi di agensi hiburan di didik berbagai macam hal terkait kemampuan mereka dengan istilah training. Berapa tahun mereka di didik? Tergantung, dari mulai hitungan bulan bahkan hingga mencapai 15 tahun. Tak ada yang pasti, semua tergantung kebijakan agensi masing-masing dalam menentukan strategi mengikuti perekembangan industri ini.

Maka tak heran jika penyanyi, baik solo atau sebagai grup yang berhasil debut bukan artis asal-asalan. Mereka harus punya ciri khas, mereka punya kemampuan, mereka harus punya sesuatu jika tidak ingin tergilas dengan produk baru yang akan keluar. Perkembangan industri musik KPOP benar-benar dinamis, artis yang baru debut bisa mengeluarkan karya baru tiga kali dalam setahun. Dengan konsep yang jelas harus berbeda, harus. Jika ada satu artis yang tidak mengeluarkan album dalam kurun waktu lama, para penggemarnya akan terus mempertanyakan pada agensi.

Ah, ada satu hal penting dalam percaturan industri ini, yaitu agensi. Merekalah pabrik dari semua produk artis itu. Mereka yang mendidik, menerbitkan, memasarkan dan terus mempertahankan sebisa mungkin hingga waktu yang lama. Semua hal tentang artis diurus oleh agensi ini, dari mulai perkara pekerjaan hingga pribadi. Jika disini ada berita pernikahan wartawan akan bertanya pada artis atau keluarganya, maka di Korea wartawan akan menghubungi agensinya. Ah, berita pernikahan terlalu mewah, berita tentang artis yang pacaran saja mahal harganya.

Karakterisitik setiap agensi dalam mengatur setiap artisnya berbeda-beda, mengikuti perkembangan perusahaan-perusahaan hiburan ini juga bisa jadi sisi lain yang menyenangkan. Belum lagi tentang penggemarnya, ada istilah fans kingdom atau disingkat menjadi fandom. Pernak-pernik tentang fandom dari setiap grup atau penyanyi ini juga tak kalah meriah. Artis yang berkualitas dengan pemasaran agensi yang luar biasa bisa menghasilkan fans yang banyak sekaligus loyal. Dari sekedar membeli album atau datang ke konser hingga follow up semua tentang idolanya di internet. Tapi dibalik kemeriahan itu, hal yang paling aku sukai dari hal tentang fans ini adalah munculnya karya seni baru dari karya yang diciptakan artis kegemaran mereka. Dari mulai cover lagu, lukisan -baik tangan atau grafis-, hingga cerita fiksi atau fanfiction.

Ah, ini belum selesai, tapi sudah telalu panjang.

Semua hal itu aku pahami dengan perlahan, seiring waktu. Berusaha memahami sisi lain dari hal yang dianggap baik selama ini bukanlah hal yang mudah. Aku pernah berkali-kali menyerah dan berusaha untuk berhenti mengikuti. Melepaskan ikatan dengan banyak teman yang sudah kuanggap keluarga tadi agar bisa menjadi normal -seperti temanku kebanyakan. Menutup semua kotak kenangan tentang musik yang menjadi lagu pengiring dalam masaku memulai pemahaman tentang kehidupan. Tapi selalu saja, KPOP yang pertama yang membuatku jatuh cinta lagi.

wings-short-film-1-begin_sc3

Maka begitulah, aku tetap punya sisi lain dalam diriku karenanya. Meski aku di tahun 2010 dan sekarang aku merasa sudah berbeda, tapi karakteristik KPOP membuatku merasa harus sembunyi karena aku menjadi tetap sama.

Tapi berbicara tentang musik, aku tahu itu tetaplah sebuah kesalahan. Meski aku selalu berusaha mencari celah dari hal mengenai Allah yang menyukai keindahan. Dan di beberapa kesempatan, aku merasakan rasa syukur yang sangat karena aku bisa begitu buncah oleh kebahagiaan hanya karena sebuah alunan musik. Aku begitu bersyukur karena aku tidak sepi hanya karena sebuah lagu, aku bisa menemukan semangat hanya karena beberapa untaian lirik.

Aku bahkan masih tidak mengerti kenapa bunyi-bunyian yang berbeda bisa menjadi sebuah harmoni yang indah. Kenapa alat-alat musik itu bisa punya suara yang berbeda-beda. Kenapa suara manusia bisa beragam. Kenapa dengan hanya 7 nada diatonis di dunia, bisa menghasilkan musik yang beraneka macam. Kenapa dengan lirik yang bahkan tak kau pahami sekalipun, kau bisa menangkap emosi yang disampaikan seorang penyanyi.

Kenapa.

Aku tidak menuliskannya dengan tanda tanya, karena terlepas dari prosesnya, aku merasa sudah menemukan jawaban.

Semua karena Allah, Dia yang menciptakan semua keindahan. Termasuk yang bisa ditangkap oleh indera pendengaran manusia meskipun ia sangat terbatas. Aku percaya ada beberapa karya yang ditulis dengan hati, hingga ia bisa menyentuh hati orang lain meski disampaikan dengan bahasa yang berbeda.

Semua sungguh karenaNya. Semua tentang musik, sungguh penuh dengan hal yang patut menjadi perenungan.

Mungkin, suatu saat, bisa saja, suatu saat aku mampu untuk meninggalkannya dengan usaha yang jauh lebih keras. Menjadikannya bagian kotak musik kenangan terakhir yang harus aku pertanggungjawabkan dihadapanNya kelak.

 

NB.
Image Source: #Wings Short Movie 1 : Begin
Diposkan pada Abstrak, Sebuah Cerita

23 Things on 23 Years Old [2nd Thing : Dream(s)]

Aku punya banyak mimpi, bahkan sebelum aku bisa paham apa beda mimpi ketika tidur dan ketika menjalani hidup. Tapi semua mimpi itu terus berubah seiring waktu. Ada yang karena tak mungkin, ada yang karena tak realistis, ada yang betabrakan dengan mimpi orang lain, ada juga yang karena aku menyerah mewujudkannya.

hyyh-on-stage-prologue_sc2

Aku pikir, aku seperti kupu-kupu yang terlalu lama dalam kepompong. Itulah kenapa aku punya (terlalu) banyak mimpi. Begitu polos menganggap semua hal bisa dengan mudah terwujud begitu kepompongku hancur. Aku tak menyertakan bayangan tentang apa dunia yang sebenarnya, dunia dibalik kepompong yang jauh lebih luas. Aku bahkan tak membayangkan jika ternyata keluar dari kepompong itu menyakitkan. Dia bisa saja melukaiku, menghabiskan tenagaku, mengoyak sayapku yang rapuh. Bahkan aku tetap butuh waktu lama agar sayap itu berkembang dengan sempurna.

Ah, tapi setidaknya aku memang terluka untuk sesuatu hal yang kuyakini.

Yang lebih menyakitkan justru karena aku berdarah-darah untuk hal yang tak paham kenapa bisa aku lakukan. Untuk apa aku melakukannya. Membuatku terus berjalan melawan arah dari tempat yang kuyakini. Aku tak paham akan kemana.

hyyh-on-stage-prologue_sc3

Aku ingat sewaktu SD bagian belakang buku tulisku penuh olehcerita fiksi. Aku garis-garis menjadi lima bagian, lalu aku tulisi dengan semua yang tergambar dalam dunia imajinasiku. Bahkan aku punya satu buah buku yang isinya adalah semua karya tulis itu. Yang membuatku tertawa geli saat membacanya bertahun-tahun kemudian.

Ketika aku pertama kali memiliki komputer, aku mengisi sebagian besar dokumen dengan dokumen curhatan dan naskah fiksi. Aku mewarnai tulisannya, menambahkan background, memilih font yang cantik. Membuat betah sekali dibaca. Mungkin itulah kenapa aku bisa mengetik cepat sebelum belajar teori komputer di sekolah. Dengan uang jajan seribu rupiah, aku menyisihkan uang untuk membeli kertas HVS di toko samping Sekolah. Selembar, dua lembar, tiga lembar setiap harinya. Setiap beberapa hari sekali aku mencicil mencetak tulisan-tulisan itu. Hingga tiga tahun di SMP, aku berhasil menyelesaikan sebuah naskah dengan jumlah halaman 200 lebih.

Itu bahkan lebih tebal dari Tugas Akhir yang aku tulis kemarin.

Dengan uang tabunganku sendiri, aku mengirimkannya lewat Pos. Menanti berbulan-bulan. Hingga sebuah surat penolakan datang, aku berhenti sejenak.

Benar-benar sejenak, karena aku kembali dengan dunia lain itu. Lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan, aku punya dua naskah beratus halaman yang juga ditolak kemudian.

Sejujurnya, apa yang aku sesali adalah bukan karena penolakan. Tapi karena aku tak berusaha menulis lebih banyak saat aku masih percaya pada mimpi itu. Aku seharusnya lebih ketat menabung untuk membeli kertas, untuk duduk lebih lama di rental komputer, lebih sering ikut lomba, jauh sebelum aku –sedikitnya lebih- paham tentang dunia diluar kepompong sempitku.

Ketika mimpi menjadi penulis itu kemudian bergeser hanya menjadi ingin menjadi orang yang bisa terus menulis. Maka naskah penuh penolakan itu menjadi terlihat begitu menyakitkan. Karena aku bahkan sudah tak bisa lagi menulis barang satu kata pun. Sekarang aku sudah bergeser menjadi orang yang menertawakan idealisme dan semua aturan itu. Tertawa karena ternyata semuanya sudah berhasil membuat mimpiku terasa begitu bodoh.

Itu hanya satu hal. Menulis adalah salah satu dari sekian banyak mimpi yang terasa semakin jauh karena aku berjalan tak tentu arah. Masih ada banyak hal lain yang juga tenggelam seiring waktu. Aku ingin menjadi ini, menjadi itu, ingin ini, ingin itu, punya ini, punya itu, bisa kesini, bisa kesitu. Entahlah, mungkin aku memang terlalu panjang angan-angan, sehingga merasa hilang.

Tapi sebenarnya, aku tak pernah bermaksud untuk terlalu berkhayal dan tak menginderakan semua mimpi. Aku hanya ingin memastikan bahwa masa tidak menelanku hidup-hidup. Aku punya tujuan, aku punya sesuatu untuk dikerjakan. Itu saja. Hingga nanti saat aku harus mempertanggunjawabkan semua waktuku padaNya, aku bisa menjelaskan tanpa penyelasan. Aku bisa dengan tenang membiarkan semua anggota tubuhku besaksi padaNya.

Hanya saja, melihat berserakannya catatan mimpi, terkadang membuat harapan terusir dalam hati.  Dari buku satu ke buku yang lain, hingga dibalik kalender bekas dan HVS bekas, semua itu… lucu. Masa depan kita besok ditentukan hari ini. Kita harus lebih baik lagi dari hari kemarin. Mau jadi apa nanti kalau sekarang begini terus. Orang lain bisa masa kamu enggak. 

Ah, jika imanku menipis, melihat orang lain yang lebih dulu mewujudkan mimpinya akan membuatku semakin getir. Tokh pada akhirnya, semua teori motivasi, seminar motivator, kata-kata mutiara, dan nasihat terbaik hanya akan memberi getaran yang sama. Lalu menguap. Karena yang tahu seperti apa perjalanannya dan bagaimana proses diterima dalam referensi kita hanya kita sendiri.

Aku mungkin sudah menyederhanakan mimpiku sejak lama, hingga tanpa sadar aku hidup dalam mimpi orang lain. Membuatku kehilangan siapa aku dan semakin ketakutan untuk melihat dunia luar yang sebenarnya. Karena aku tahu dunia tak hanya diisi oleh orang-orang lurus dan sudah paham arti kehidupan. Aku takut bertemu mereka, berurusan dengan mereka, aku takut mereka akan membuatku semakin hilang dalam diriku sendiri.

“I’m not being faithful
I’m trying to endure
The only thing I can do
Is this

I want to stay
I want to dream a little more
But still
It is time to leave

It’s my truth
It’s probably covered in scar
But it’s my fate
But I want to struggle

Maybe I, I can never fly
Like the flower petals over there
I can’t become like those with wings
Maybe I, I can’t touch the sky
But I want to stretch my arm
I want to run just a little bit

I am just walking and walking in this darkness
Happy times asked me
If I am really okay
Oh no
I answered, no I am very frightened
But I tightly hold six flowers
And I’m only walking

Wide awake, don’t cry
Wide awake, no lie.”

(Awake lyric translate, Song by Jin BTS)

hyyh-on-stage-prologue_sc1

Tulisan ini tanpa simpulan, karena kupikir mimpiku akan kembali berubah seiring waktu. Setidaknya aku sudah menumpahkan kusutnya benang dalam pikiran tentang mimpi ini. Umur dua puluh tiga kurasa belum cukup tua untuk menyerah, apalagi untuk mimpi sederhana yang sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar bisa mengakomodasi hasrat orang tua, kebanggaan keluarga, norma masyarakat, nilai ekonomis dan tentu saja keyakinanku pada agama. Karena, hei, aku tidak cukup gila untuk melawan semuanya.

Bahkan jika memang usiaku sampai pada usia senja manusia, aku tetap menganggapnya masih cukup muda untuk menyerah. Jika pun memang tetap tidak terwujud, setidaknya ia akan menjadi cerita penuh kebahagiaan saat aku mempertanggungjawabkan hidupku pada Maha Pemberi Hidup.

Akan menjadi seperti apa aku nanti, biar nanti yang menjawabnya.

 

NB.
Image Source: HYYH on stage : Prologue
Diposkan pada Abstrak, Sebuah Cerita

23 Things on 23 Years Old [1st Thing: Religion]

Sebuah garis waktu mengantarkanku pada suatu siang, saat dimana tubuhku masih belum lebih tinggi dari kaki orang dewasa. Kumpulan langkah kecil berhasil mengantarku ke dapur. Dengan pensil dan secarik kertas dengan gambar tak beraturan digenggaman, ku hampiri Nenek yang tengah sibuk dengan masakannya, lalu bertanya, “Mih, Allah itu seperti apa?”

Mungkin karena tak ingin meninggalkan keadaan masakannya lebih lama, Nenek langsung meraih kertas dan pensil di tanganku dan menggambarkan sebuah bulatan yang kuketahui sekarang adalah matahari.

wings-short-film-4-first-love_sc-2

Allah. Aku tidak tahu sejak kapan, aku tidak tahu sejak momentum apa aku mulai mengenalNya. Jika orang lain punya cerita hijrah, aku tak tahu titik awal kisah spritualitasku dimana. Aku tak punya titik balik, karena semua upaya perbaikan diri terus dilakukan sebelum aku mengenal apa arti perubahan.

Saat aku lahir, mengawali garis panjang kehidupan ini, Allah memberiku hadiah besar. Dia mengijinkan aku terlahir dengan kedua orang tua beragama Islam. Membuatku memiliki bekal lebih untuk bisa mengenal Allah dari perspektif agama yang memberkahi seluruh alam ini.

Tapi seiring garis yang terus tergambar, aku sadar bahwa hadiah itu saja belum cukup. Keluargaku bukan keluarga yang agamis, biasa saja, hanya baik-baik, kami salat, puasa, zakat, sama seperti yang lain. Membuat pengenalan agamaku pun tak terlalu istimewa. Aku tidak mengenyam bangku Taman Kanak-Kanak, hanya beberapa tahun Sekolah TPA dan harus keluar karena pindah rumah. Tapi waktu singkat itu sudah cukup membuatku memiliki kemampuan membaca Al-Quran dan membaca tulisan sebelum masuk Sekolah Dasar.

Kemampuan itu tetap tak membuatku senang hati menyambut bulan Ramadan. Alasannya, aku takut dengan Pesantren Kilat karena harus menghafal surat-surat pendek. Hafalanku parah dibanding teman-teman lain yang mengenyam pendidikan lebih lama sebelum Sekolah Dasar.

Tapi entah darimana, aku tidak tahu siapa yang memulai, aku tidak tahu siapa yang mengilhami, begitu selesai Sekolah Dasar aku mengambil dua prinsip yang menjadi tali kuat untuk diikatkan pada Allah. Dua hal yang mengenalkanku pada kesendirian dan keterasingan sejak kecil.

Anak dua belas tahun itu memutuskan untuk berjilbab dan tidak ingin berpacaran.

Hal pertama membawa dampak keterasingan lebih dulu. Gunjingan datang dari tetangga, sindiran untuk anak dua belas tahun itu terkadang membuatnya bingung. Karena orang tua juga setengah hati, dengan jilbab uang yang mereka keluarkan jadi lebih tinggi. Harga seragam sekolah dengan lengan dan rok panjang  jelas lebih mahal harganya. Belum pakaian sehari-hari yang sama sulitnya.

Tiba-tiba aku merasa dunia itu gelap, aku sendirian. Sesekali aku terpaksa membuka jilbab dan menangis parah setelahnya. Panggilan ibu haji begitu menyakitkan di hati. Duhai, aku bahkan belum meninggalkan usia belasan tapi terlihat begitu tua karena selembar kain.

Maka tiba-tiba saja aku merasa ikatan tali yang kulemparkan pada Allah menjadi kuat, karena aku tidak bisa mengadu pada siapa-siapa selain padaNya. Aku menarik diri, memilih berpegang hanya pada tali itu, dan mengawali masa dimana aku menyenangi kesendirian, memiliki teman khayalan, menuliskan perasaan, hanya mendengarkan suara diri sendiri bagai teman berbincang.

Hal kedua membawa keterasingan yang jauh lebih panjang, bahkan mungkin hingga detik ini. Mengenai jilbab, pandangan orang sudah berubah dewasa ini. Contoh yang baik semakin banyak, informasi mengenai dalilnya juga telah sering digaungkan. Perubahan besar itu berhasil membawa perubahan besar dalam dunia kecilku. Meski perbaikan dalam niat dan cara pemakaiannya masih akan terus berjalan seiring waktu.

wings-short-film-4-first-love_sc-3

Tak jauh berbeda, hal kedua juga membawa keterasingan yang sama. Bahkan ia membawa konflik nilai padaku sejak lama. Jauh sebelum muncul Udah Putusin aja! atau berbagai tausiyah mengenai cinta dalam bentuk buku, film, lagu, dan lainnya, aku sudah memutuskan untuk tidak memiliki hubungan lebih dengan lawan jenis. Tidak tahu kenapa, yang pasti bukan karena larangan orang tua atau alasan akademis.

Sebenarnya aku begitu sering mempertanyakan alasan ini pada diriku sendiri. Karena di televisi ada acara Katakan Cinta, di buku ada Pacaran Islami, Guru memperbolehkan untuk semangat belajar, disekitarku pun banyak teman yang berpacaran -dan mencurahkan semua ceritanya padaku. Mereka bahagia, dan tak pernah merasa sendirian.

Tak pernah merasa sendirian.

Ah, apa ini? Jangan-jangan aku yang bodoh. Jangan-jangan aku mengambil keputusan yang salah. Aku kuno. Sok baik. Lagi-lagi aku merasa terasing dari dunia di sebrang sana, ditemani keraguan, karena lagi-lagi tak ada yang berbaik hati menemani aku di sisi ini. Seorang teman mendekati aku tolak baik-baik dengan alasan sekonyol mungkin, karena aku tidak mau ia tahu kebingungan yang aku ciptakan di sisi ini. Rasa ketertarikan pada teman yang lain juga hanya bisa aku nikmati dan rayakan sendiri.

Ah, sebenarnya tidak juga, aku juga mengundang Allah dalam perayaan itu.

Aku mengundangNya karena aku merasakan luka karena perasaan itu, tapi aku tidak bisa mengatakan rasa sakitnya pada siapapun. Terkadang aku hanya mengundangNya untuk mendengarkanku, bukan untuk bertanya apa yang mesti kulakukan, karena aku merasa dinding saja tak bisa memahami apa yang aku ceritakan. Hingga akhirnya membuatku merasa jika Allah bukan hanya Tuhan, dia adalah teman.

Maka, setelah garis kehidupan sudah sepanjang ini, pertanyaan itu kembali datang; siapakah Allah?

Aku terlalu kotor untuk dikatakan sudah mengenalNya. Meski banyak kejadian yang membuatku memiliki kesempatan untuk memahamiNya dengan lebih baik. Sekali waktu Dia sempat berkenan menerimaku sebagi tamu di RumahNya di Baitullah.  Dia berhasil membuatku menangis saja sepanjang thawaf, melihat namanya begitu indah terukir di atas kiswah. Aku tak akan lupa dini hari itu, dibawah sorot lampu Masjidil Haram, kemegahan itu, getaran itu, kerinduan itu. Bahkan saat aku thawaf sendirian, Dia mengijinkan aku bercerita banyak padaNya, sama seperti kebiasaanku yang selalu mengundangNya dalam dunia kecilku yang terasing. Bagaimana mungkin, apa Dia tak peduli dengan kegelapan yang aku miliki, sehingga bersedia menerimaku disana dalam usiaku yang baru dua tahun merasakan angka puluhan?

Aku yakin Dia pasti tahu jika lisanku, hatiku, pikiranku, pakaianku, tingkah lakuku belum cukup baik untuk mendapat hadiah itu. Bahkan aku belum cukup baik untuk menjawab siapa Allah sebenarnya. Dzat yang tak terlihat, tak terasa, tak terdengar, bahkan dianggap tak ada oleh sebagian manusia.

 

 

Sejauh ini, aku mengenalMu bukan sebagai seseorang yang tinggal jauh disana, di langit ketujuh dan menunggu sembahan setiap hambaNya. Tapi Kau dekat, Kau hadir dimanapun. Kau hadir pada setiap jiwa yang baik, lisan yang menyejukan, hujan yang turun, pagi yang cerah, malam yang tenang, bahkan pada setiap hal yang teraba indera atau tidak. Semua inderaku mungkin tak bisa menemukanMu, tapi ada hati yang bisa merasakan ketika Kau memelukku dalam kesedihan, memberi kabahagiaan saat aku tertawa, rasa kenyang ketika aku selesai makan, menjagaku saat aku tertidur. Hingga aku tak bisa membedakan eksistensiku sendiri, karena semua yang membangun diriku semuanya adalah milikMu.

Terima kasih, Allah. Mungkin pemahamanku akan berubah seiring waktu, tapi aku akan berusaha untuk tak melepaskan hal yang telah ku berikan di kehidupanku yang telah terlewati. Islam adalah hal terbaik yang Kau berikan sebagai bekal hidupku, karena ia bisa menjadi jalan bagiku untuk bisa terus berusaha mengenalMu. Semoga Kau berkenan menjaga ketundukan hati, karena apalah arti ilmu dan pemahamanku yang baru setetes air, dibandingkan ilmuMu yang seluas samudera.

 

NB.

Image source: #Wings Short Movie 4 : First Love