Diposkan pada Sebuah Cerita

Aku dan Penerbit

Gara-gara kemarin bicara soal penerbit di group chat, entah kenapa seharian aku jadi kepikiran.

Untuk beberapa menit pas ikutan ngobrol di sana, aku seperti menemukan diriku yang udah mati. Ralat, yang aku paksa buat mati karena aku pikir bagian diri aku itu udah gak berguna lagi.

Pertama kali aku mengetahui mengenai mekanisme menulis dan penerbitan itu sekitar umur tiga belas tahun. SMP. Sebelumnya aku cuma tahu aku suka menulis cerita dan gak tahu gimana caranya biar tulisan itu bisa dibaca orang. Dengan catatan, tanpa diketahui itu aku yang nulis, because man I’m so afraid of people’s judge. Aku pernah diketawain karena punya cita-cita jadi penulis dan itu membekas banget hingga aku beranjak remaja.

Aku berusaha bikin tulisan sebagus mungkin tiap tugas Bahasa Indonesia biar bisa mejeng di Majalah Dinding. Tapi gak pernah berhasil. Sedangkan kirim tulisan sendiri ke pengurus Mading itu aku masih takut dengan risiko diketawain.

Sampai akhirnya aku dapat informasi dari televisi karena film Eiffel I’m In Love booming, film itu diangkat dari novel dan penulisnya diundang di acara berita. Penulisnya nyeritain gimana awal mula tulisannya bisa terbit. Aku dapat inspirasi, ternyata tulisan itu dikirim ke Penerbit. Buat tahu alamat penerbitnya, harus pergi ke toko buku buat lihat-lihat sampul buku bagian belakang dan nemu alamat penerbit.

Alamak. Di kotaku gak ada toko buku.

Aku pergi ke Perpustakaan Kota, buku-bukunya jadul dan kurang update, tapi lumayan bisa buat aku praktek ngikutin tips itu. Aku nulis banyak alamat penerbit. Gak tanggung-tanggung, sasaranku adalah Gramedia Pustaka Utama.

Bukan tanpa alasan aku berani-beraninya mau kirim ke sana, karena memang buku di Perpus kebanyakan terbitan sana. Aku pergi ke warnet, dulu internet baru masuk sekolah dan lelet luar biasa. Jadi aku menyisihkan uang untuk pergi kesana cuma buat kirim e-mail ke Gramedia, tanya, gimana caranya buat kirim naskah tulisan ke sana?

Aku gak mungkin lupa gimana rasa senengnya saat beberapa hari kemudian aku berhasil ngumpulin uang buat ke warnet, dan dapet jawaban dari redaksi meskipun itu cuma informasi soal kriteria naskah yang mereka terima. Sampe pulang ke rumah pun tetep bikin senyum-senyum, ngelebihin dapat surat cinta.

Selama beberapa bulan, hampir satu tahun aku nulis cerita, menyisihkan uang untuk beli HVS buat nyetak naskahnya. Diam-diam kirim ke POS lewat temen karena gak mau ketahuan orang. Beneran udah kayak transaksi narkoba. Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Bapak POS datang ke rumah, diterimu Ibu. Matilah.

Ditanyain itu dokumen dari siapa. Aku gak jawab. Langsung lari ke kamar buat dapat buka dokumen yang di dalamnya ada naskah barengan sepucuk surat. Surat penolakan. Aku patah hati. Ku simpan naskah itu di meja paling bawah dan mutusin biar nulis cerpen aja biar cepet selesai dan gak modal terlalu banyak.

Tiap pulang sekolah, aku ke tempat jasa pengetikan buat nulis cerpen. Kalau di majalah ada sayembara aku ikut catet dan berusaha ikutan juga. Tapi ya gitu, belum pernah lolos.

Masuk SMK aku dapat ide menulis lagi, selama tiga tahun pelan-pelan aku selesaikan. Aku udah mulai bisa ke toko buku di kota sebelah. Kalau masuk ke sana, yang pertama dibaca bukan blurb buku, tapi alamat penerbit. Hingga akhirnya aku dapat target kedua, Gagas Media.

Saat itu aku udah kenal dengan facebook, diajak teman untuk menulis rutin halaman fanfiksi korea miliknya. Gak peduli aku belum hafal artis Korea, temanku cuma pengen halamannya rame. Hingga untuk pertama kalinya, aku merasakan bagaimana tulisan dibaca orang lain.

Meski hal itu tak menghilangkan mimpiku untuk bisa punya buku betulan.

Maka tepat sebelum aku perpisahan di SMK, aku mengirimkan naskah lagi. Bahkan kali ini ada dua, karena efek komentar dan semangat dari orang lain berhasil membuatku menyelesaikan satu cerita panjang di facebook, jadi cerita itu aku cetak dan menemani naskah yang kutulisa bertahun-tahun ke meja redaksi Gagas Media.

Tak perlu menunggu lama, aku dapat surat balasan lagi. Isinya penolakan.

Saat itu aku gak tahu jika tiap penerbit punya kriteria. Aku belum dapat ilmunya tentang naskah macam apa yang dicari tiap penerbit. Semua itu aku dapatkan justru saat aku sudah ada di bangku kuliah yang tak mempelajari sedikit pun tentang kepenulisan. Aku mencari sendiri, mengikut bedah buku, seminar sana sini, hingga akhirnya memutuskan untuk mencetak di Nulisbuku.

Tapi aku gak punya waktu untuk promo tulisan sendiri di Nulisbuku. Dulu sosial media belum menjadi tempat untuk berjualan. Jadi semua terbatas pada komunitas sendiri dan memang hasilnya nihil. Aku merasa aku tetap butuh penerbit. Maka aku beralih ke penerbit indie dan mencoba untuk mengambil paket penerbitan. Kusisihkan uang berbulan-bulan dan rela untuk hanya makan seadanya selama kuliah demi membeli paket penerbitan itu.

Aku punya satu naskah yang disukai pembaca di facebook, dan aku ingin menjualnya dalam bentuk buku. Siang malam aku mendesai cover sendiri, melayout bukunya sendiri, dan mengabaikan Ujian Tengah Semesterku hingga jatuh sakit. Hasilnya hanya terjual 20 eksemplar, dan 20 orang yang membeli itu aku doakan dalam diam semua yang terbaik di dunia ini, meski ada yang membelinya tidak dengan uang, melainkan dengan mochi. Tapi mereka adalah dua puluh orang terbaik yang membuatku merasakan hidupnya mimpi kecilku.

Meski hanya sebentar.

Karena kemudian penerbit itu memberitahu jika bukuku akan ditarik. Meski memiliki ISBN, tapi isinya fanfiksi. Mereka takut ada tuntutan hukum di kemudian hari.

Aku mengerti, dan menutup uforia singkat itu dengan sendu.

Aku kembali menulis sebuah naskah yang belum sempat kuselesaikan sejak Sekolah Dasar, rencananya untuk lomba. Tapi saat itu aku sudah semester akhir dan bahkan mulai berkuliah lagi di universitas berbeda. Takut gila, aku pun menghentikan penulisan naskah itu. Meski kemudian aku mencoba membuat usaha terakhir dengan menghubungi salah satu penerbit indie. Tidak tanggung-tanggung, mereka langsung memintaku bertemu.

Aku ingat, hari itu di Taman Topi, Bogor. Aku nekat pergi sendiri dengan naskah di tangan. Untuk pertama kalinya aku bertemu dengan seeorang yang merupakan editor dari penerbitan. Kami berbincang, dan semua pembicaraan itu bagai pil pahit yang mengubah perspektifku tentang dunia penerbitan.

Buku itu tidak cukup. Jualan buku aja gak bakal nutup biaya produksi. Penerbit gak cuma butuh naksah bagus, tapi penulis yang terkenal. Minimal, dia sudah punya nama dan pembacanya sendiri. Penerbit gak mau ngambil resiko dengan menerima naskah dari penulis yang gak punya nama karena biaya produksi itu gak murah.

Akhirnya aku pulang dengan naskah yang jadi saksi tangisanku sepanjang jalan pulang.

Aku berhenti menulis. Dan sempurna menutup usaha untuk mewujudkan mimpi itu.

Hingga akhirnya 2018 aku kembali ke dunia penulisan online. Agak terlambat karena wattpad tak lagi tren. Tapi saat itu aku hanya menulis, karena wow aku gak bisa gak nulis ternyata. Bertahun-tahun vakum dan hidup tanpa menjalankan hobi ternyata sukses membuatku merana.

Tapi salahnya, aku menulis fanfiksi.

Hal yang tak bisa dijual. Meski aku tahu di toko buku justru banyak buku yang pertamanya dipublish di wattpad yang terang-terangan memakai sampul wajah idola.

Jika saja aku menulis fanfiksi di wattpad beberapa tahun lebih awal, saat waktuku masih banyak dan penghasilan bukan hal yang harus kutanggung sendiri. Mungkin ceritanya akan berbeda. Di umurku sekarang, aku tak bisa lagi melihat tulisan sebagai kesenangan lagi. Tuntutanku banyak, kewajibanku banyak. Dia tak lagi cukup diselesaikan dengan menyisihkan uang jajan selama berbulan-bulan.

Tapi di sisi lain, aku sudah sangat lelah dengan penerbitan.

Meski mungkin aku masih membutuhkan.

Mungkin.

Penulis:

Always Wondering Until I Wonder Why I Wondering

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.