Diposkan pada Sebuah Cerita

Janji Sendiri

Aku terbiasa sendirian. Tanpa bermaksud mendiskreditkan orang-orang di sekitar yang mau menemani, tapi aku memang terbiasa sendiri. Dari kecil untuk menjaga rumah, hingga dewasa untuk ke perantauan. Pergi sendiri, pulang sendiri, makan di tempat umum sendiri, ke bioskop sendiri, ke kondangan sendiri. Aku melakukannya sebelum kemudian orang-orang membahasnya di sosial media sebagai sesuatu yang luar biasa.

Terkadang, untuk beberapa hal, mungkin pembahasan di sosial media itu memang terlalu mempermasalahkan hal yang sebenarnya tak masalah.

Tapi belakangan, untuk beberapa bulan ini, aku tidak bisa sendiri.

Ada kehidupan dalam rahimku yang membuat aku selalu bersamanya. Dia bahkan ada saat aku tidur, saat mandi, atau bahkan saat menangis sesenggukan di pojokan. Aku tak bisa menyimpan rahasia darinya, dia tahu aku sedang merasakan apa saat aku tak mengatakan yang sebenarnya pada siapa pun. Dia tahu aku kelaparan, dia tahu aku haus, dia tahu aku sedang sedih, dia tahu aku senang.

Dia, yang sedang kunanti lahirnya ke dunia.

Saat nanti dia benar-benar hadir dan terpisah dari ragaku, dia mungkin tak lagi bisa mengerti apa yang aku rasakan. Tak lagi bisa menemani ke mana aku pergi. Tapi aku anak pertama, dan dia adalah anak pertama, setidaknya aku akan berusaha agar dia tak selalu merasa sendiri seperti yang kualami.

Diposkan pada Sebuah Cerita

Aku dan Penerbit

Gara-gara kemarin bicara soal penerbit di group chat, entah kenapa seharian aku jadi kepikiran.

Untuk beberapa menit pas ikutan ngobrol di sana, aku seperti menemukan diriku yang udah mati. Ralat, yang aku paksa buat mati karena aku pikir bagian diri aku itu udah gak berguna lagi.

Pertama kali aku mengetahui mengenai mekanisme menulis dan penerbitan itu sekitar umur tiga belas tahun. SMP. Sebelumnya aku cuma tahu aku suka menulis cerita dan gak tahu gimana caranya biar tulisan itu bisa dibaca orang. Dengan catatan, tanpa diketahui itu aku yang nulis, because man I’m so afraid of people’s judge. Aku pernah diketawain karena punya cita-cita jadi penulis dan itu membekas banget hingga aku beranjak remaja.

Aku berusaha bikin tulisan sebagus mungkin tiap tugas Bahasa Indonesia biar bisa mejeng di Majalah Dinding. Tapi gak pernah berhasil. Sedangkan kirim tulisan sendiri ke pengurus Mading itu aku masih takut dengan risiko diketawain.

Sampai akhirnya aku dapat informasi dari televisi karena film Eiffel I’m In Love booming, film itu diangkat dari novel dan penulisnya diundang di acara berita. Penulisnya nyeritain gimana awal mula tulisannya bisa terbit. Aku dapat inspirasi, ternyata tulisan itu dikirim ke Penerbit. Buat tahu alamat penerbitnya, harus pergi ke toko buku buat lihat-lihat sampul buku bagian belakang dan nemu alamat penerbit.

Alamak. Di kotaku gak ada toko buku.

Aku pergi ke Perpustakaan Kota, buku-bukunya jadul dan kurang update, tapi lumayan bisa buat aku praktek ngikutin tips itu. Aku nulis banyak alamat penerbit. Gak tanggung-tanggung, sasaranku adalah Gramedia Pustaka Utama.

Bukan tanpa alasan aku berani-beraninya mau kirim ke sana, karena memang buku di Perpus kebanyakan terbitan sana. Aku pergi ke warnet, dulu internet baru masuk sekolah dan lelet luar biasa. Jadi aku menyisihkan uang untuk pergi kesana cuma buat kirim e-mail ke Gramedia, tanya, gimana caranya buat kirim naskah tulisan ke sana?

Aku gak mungkin lupa gimana rasa senengnya saat beberapa hari kemudian aku berhasil ngumpulin uang buat ke warnet, dan dapet jawaban dari redaksi meskipun itu cuma informasi soal kriteria naskah yang mereka terima. Sampe pulang ke rumah pun tetep bikin senyum-senyum, ngelebihin dapat surat cinta.

Selama beberapa bulan, hampir satu tahun aku nulis cerita, menyisihkan uang untuk beli HVS buat nyetak naskahnya. Diam-diam kirim ke POS lewat temen karena gak mau ketahuan orang. Beneran udah kayak transaksi narkoba. Sebulan, dua bulan, tiga bulan. Bapak POS datang ke rumah, diterimu Ibu. Matilah.

Ditanyain itu dokumen dari siapa. Aku gak jawab. Langsung lari ke kamar buat dapat buka dokumen yang di dalamnya ada naskah barengan sepucuk surat. Surat penolakan. Aku patah hati. Ku simpan naskah itu di meja paling bawah dan mutusin biar nulis cerpen aja biar cepet selesai dan gak modal terlalu banyak.

Tiap pulang sekolah, aku ke tempat jasa pengetikan buat nulis cerpen. Kalau di majalah ada sayembara aku ikut catet dan berusaha ikutan juga. Tapi ya gitu, belum pernah lolos.

Masuk SMK aku dapat ide menulis lagi, selama tiga tahun pelan-pelan aku selesaikan. Aku udah mulai bisa ke toko buku di kota sebelah. Kalau masuk ke sana, yang pertama dibaca bukan blurb buku, tapi alamat penerbit. Hingga akhirnya aku dapat target kedua, Gagas Media.

Saat itu aku udah kenal dengan facebook, diajak teman untuk menulis rutin halaman fanfiksi korea miliknya. Gak peduli aku belum hafal artis Korea, temanku cuma pengen halamannya rame. Hingga untuk pertama kalinya, aku merasakan bagaimana tulisan dibaca orang lain.

Meski hal itu tak menghilangkan mimpiku untuk bisa punya buku betulan.

Maka tepat sebelum aku perpisahan di SMK, aku mengirimkan naskah lagi. Bahkan kali ini ada dua, karena efek komentar dan semangat dari orang lain berhasil membuatku menyelesaikan satu cerita panjang di facebook, jadi cerita itu aku cetak dan menemani naskah yang kutulisa bertahun-tahun ke meja redaksi Gagas Media.

Tak perlu menunggu lama, aku dapat surat balasan lagi. Isinya penolakan.

Saat itu aku gak tahu jika tiap penerbit punya kriteria. Aku belum dapat ilmunya tentang naskah macam apa yang dicari tiap penerbit. Semua itu aku dapatkan justru saat aku sudah ada di bangku kuliah yang tak mempelajari sedikit pun tentang kepenulisan. Aku mencari sendiri, mengikut bedah buku, seminar sana sini, hingga akhirnya memutuskan untuk mencetak di Nulisbuku.

Tapi aku gak punya waktu untuk promo tulisan sendiri di Nulisbuku. Dulu sosial media belum menjadi tempat untuk berjualan. Jadi semua terbatas pada komunitas sendiri dan memang hasilnya nihil. Aku merasa aku tetap butuh penerbit. Maka aku beralih ke penerbit indie dan mencoba untuk mengambil paket penerbitan. Kusisihkan uang berbulan-bulan dan rela untuk hanya makan seadanya selama kuliah demi membeli paket penerbitan itu.

Aku punya satu naskah yang disukai pembaca di facebook, dan aku ingin menjualnya dalam bentuk buku. Siang malam aku mendesai cover sendiri, melayout bukunya sendiri, dan mengabaikan Ujian Tengah Semesterku hingga jatuh sakit. Hasilnya hanya terjual 20 eksemplar, dan 20 orang yang membeli itu aku doakan dalam diam semua yang terbaik di dunia ini, meski ada yang membelinya tidak dengan uang, melainkan dengan mochi. Tapi mereka adalah dua puluh orang terbaik yang membuatku merasakan hidupnya mimpi kecilku.

Meski hanya sebentar.

Karena kemudian penerbit itu memberitahu jika bukuku akan ditarik. Meski memiliki ISBN, tapi isinya fanfiksi. Mereka takut ada tuntutan hukum di kemudian hari.

Aku mengerti, dan menutup uforia singkat itu dengan sendu.

Aku kembali menulis sebuah naskah yang belum sempat kuselesaikan sejak Sekolah Dasar, rencananya untuk lomba. Tapi saat itu aku sudah semester akhir dan bahkan mulai berkuliah lagi di universitas berbeda. Takut gila, aku pun menghentikan penulisan naskah itu. Meski kemudian aku mencoba membuat usaha terakhir dengan menghubungi salah satu penerbit indie. Tidak tanggung-tanggung, mereka langsung memintaku bertemu.

Aku ingat, hari itu di Taman Topi, Bogor. Aku nekat pergi sendiri dengan naskah di tangan. Untuk pertama kalinya aku bertemu dengan seeorang yang merupakan editor dari penerbitan. Kami berbincang, dan semua pembicaraan itu bagai pil pahit yang mengubah perspektifku tentang dunia penerbitan.

Buku itu tidak cukup. Jualan buku aja gak bakal nutup biaya produksi. Penerbit gak cuma butuh naksah bagus, tapi penulis yang terkenal. Minimal, dia sudah punya nama dan pembacanya sendiri. Penerbit gak mau ngambil resiko dengan menerima naskah dari penulis yang gak punya nama karena biaya produksi itu gak murah.

Akhirnya aku pulang dengan naskah yang jadi saksi tangisanku sepanjang jalan pulang.

Aku berhenti menulis. Dan sempurna menutup usaha untuk mewujudkan mimpi itu.

Hingga akhirnya 2018 aku kembali ke dunia penulisan online. Agak terlambat karena wattpad tak lagi tren. Tapi saat itu aku hanya menulis, karena wow aku gak bisa gak nulis ternyata. Bertahun-tahun vakum dan hidup tanpa menjalankan hobi ternyata sukses membuatku merana.

Tapi salahnya, aku menulis fanfiksi.

Hal yang tak bisa dijual. Meski aku tahu di toko buku justru banyak buku yang pertamanya dipublish di wattpad yang terang-terangan memakai sampul wajah idola.

Jika saja aku menulis fanfiksi di wattpad beberapa tahun lebih awal, saat waktuku masih banyak dan penghasilan bukan hal yang harus kutanggung sendiri. Mungkin ceritanya akan berbeda. Di umurku sekarang, aku tak bisa lagi melihat tulisan sebagai kesenangan lagi. Tuntutanku banyak, kewajibanku banyak. Dia tak lagi cukup diselesaikan dengan menyisihkan uang jajan selama berbulan-bulan.

Tapi di sisi lain, aku sudah sangat lelah dengan penerbitan.

Meski mungkin aku masih membutuhkan.

Mungkin.

Diposkan pada Sebuah Cerita

[Open Commission] Menulis

Setelah mempertimbangkan banyak hal, saya akhirnya memutuskan membuka commission untuk menulis berbagai macam tulisan, yakni puisi, artikel, cerpen, fanfiksi, dan jasa ghost writer serta editing :

  1. Puisi
    Tergantung panjang tulisan/bait, kisaran Rp. 5000,- s/d Rp. 7.000,- sebagai referensi, bisa melihat buku kumpulan puisi saya yang berjudul Saya Tidak Jatuh, Cinta di sini.
    Lama pengerjaan 1 hari, bisa revisi 2x.
  2. Artikel 
    Tergantung panjang tulisan, ketentuannya:
    a. 0 – 1.000 kata : Rp. 20.000,-
    b. 1.001 – 2.000 kata : Rp. 25.000,-
    c. Lebih dari 2.000 kata : Rp. 30.000,-
    d. Lebih dari 3.000 kata : disesuaikan kembali dengan kesulitan penulisan.
    Lama pengerjaan 3 – 5 hari, bisa revisi 2x
    Contoh artikel tulisan saya bisa dilihat di sini.
  3. Cerpen / Quote 
    a. 0 – 1.500 kata : Rp. 15.000,-
    b. 1501 – 2.500 kata : Rp. 20.000,-
    c. Lebih dari 2.500 kata : disesuaikan kembali dengan kesulitan penulisan.
    Lama pengerjaan 5 – 7 hari, bisa revisi 1x
    Contoh tulisan saya bisa dilihat di sini.
  4. Fanfiksi
    a. 0 – 1.500 kata : Rp. 15.000,-
    b. 1501 – 2.500 kata : Rp. 20.000,-
    c. Lebih dari 2.500 kata : disesuaikan kembali dengan kesulitan penulisan.
    Lama pengerjaan 5 – 7 hari, bisa revisi 1x
    Jika saya tidak familiar dengan artis yang dijadikan tokoh, berkenan memberikan gambaran mengenai hal-hal umum dari artis tersebut. Tidak meminta ada adegan dewasa.
    Contoh tulisan fanfiksi saya bisa dilihat di sini.
  5. Cerita Panjang
    a. 3 – 5 chapter : Rp. 85.000,-
    b. 5 – 10 chapter : Rp. 145.000,-
    c. Lebih dari 10 chapter : disesuaikan kembali dengan kesulitan penulisan.
    Lama pengerjaan: disesuaikan degan panjang tulisan, 3 chapter bisa dikerjakan 10 – 14 hari.
    Bisa termasuk dalam novelet atau fanfiksi.
    Contoh tulisan berchapter yang saya buat bisa dilihat di sini
  6. Jasa Ghost Writer / Layout dan Editing Buku
    Saya menerima permintaan penulisan buku tanpa mencantumkan nama, atau editing dan layout buku, jika tertarik bisa menghubungi meilindawandhani@gmail.com.

Jika ada pertanyaan, tulis aja di komentar atau hubungi saya di sosial media maupun mengirim e-mail! Terima kasih ^^

Diposkan pada Sebuah Cerita

Ada Apa Dengan A Tale of Thousand Stars? Sebuah Resensi yang Diselundupi Curhat dan Kontemplasi – 2

Jadi gini, saat aku seumuran Tian, aku emang ada niatan buat jadi guru relawan lewat Indonesia Mengajar. Kebetulan saat itu aku udah lulus D3 dan ada ketertarikan sama pendidikan anak karena selama kuliah suka ikutan ngajar anak jalanan. Tapi aku ditolak karena yang dibutuhan itu lulusan S1 dan aku juga ada kontrak kerja dua tahun.

Tiga tahun kemudian, saat aku lagi ngadepin ujian akhir kelulusan S1, Indonesia Mengajar buka rekruitmen lagi. Aku nyoba daftar, tapi ditolak karena ya aku belum punya ijazah dan dianggap belum lulus.

Setahun berlalu, saat pendaftaran ada lagi, aku udah ‘kejebak’ sama dunia dewasa dan jam kerja. Tuntutan buat segera dapet kerjaan yang tetap dan menghasilkan udah ada. Aku pun harus say goodbye sama mimpi mengajar di pelosok. Kalaupun sekarang aku nekat nyari lowongan, batas usianya udah kelewat, hehe.

Jadi kebayang dong ya apa yang aku pikirin tiap lihat adegan Torfun kayak gini, hehe.

Mengajar anak-anak di pedalaman emang seindah montase di episode satu ini. Saat aku baca buku yang ditulis mantan guru relawan Indonesia Mengajar di daerah Maluku, gak semua isinya senang-senang. Malah sebaliknya, dia struggle banget di sana. Apalagi waktu kontrak di Indonesia mengajar itu satu tahun, jauh lebih lama dibandingin yang digambarin di ATOTS yang waktu kontraknya cuma tiga bulan.

Tapi yang aku suka di ATOTS, meskipun ini soal kisah cinta, mereka gak meromantisasi ‘kemiskinan’ dan ketertinggalan masyarakat. Gak tahu ya, senangkepnya aku sih gitu. Meskipun kita dimanjain banget dengan pemandangan desa yang indah, aku gak dapat kesan kalau series ini ngasih gambaran soal kekurangan fasilitas dan akses ke dunia luar itu sebagai hal yang wajar dan ‘romantis’. Gimanapun hal itu tetep masalah dan gak bisa jadi wajar hanya karena semua warganya bahagia. Kesan ini, aku temuin dari beberapa dialog, misalnya dialog di episode 3 antara Rang sama Tian ini:

Aku suka dialog di sini, karena tokoh Rang (salah satu polisi hutan di dea) mengakhiri dialog dengan rumput tetangga memang selalu lebih hijau, saat Tian cerita dia di rumah udah jarang lihat bulan karena cahanya kehalang lampu gedung-gedung. Rang gak meromantisasi keadaan warga desa yang selama ini bisa lihat bulan dengan lebih terang, dan milih buat ngebandingin kalau mereka juga sebenernya pengen lihat lampu di perkotaan.

Terus adegan dengan editing juara yang paling aku suka di episode 4, antara Tul sama Tian ini:

Aku akui adegan ini emang bisa jadi bahasan yang panjang karena dialog dan editingnya, tapi sebelum masuk ke inti, aku udah tergelitik duluan sama dialog awal mereka berdua. Waktu itu Tul (sohib Tian dari kota) tanya kenapa Tian betah di desa tanpa listrik, internet sama ponsel, lalu Tian jawab, Kenapa enggak? Karena di sana warganya juga betah dan seneng-seneng aja, lalu Tul ngucapin kalimat di atas. Beuh! Rasanya pengen salim sama Tul.

Karena kalau gak kayak gitu, apa bedanya ATOTS sama FTV-FTV yang biasa tayang soal gadis-gadis kota yang kepaksa tinggal di desa lalu berubah betah setelah jatuh cinta di sana? (uhuk FTV setting kebun teh di puncak uhuk). Walaupun, oke, memang dialog ini kemudian menggiring pada Tian yang menceritakan soal Phupa, tapi itu gak ngeubah jika ATOTS tetap menganggap keadaan desa itu gak nyaman. Karena yang membuat Tian betah itu bukan keadaan desanya, melainkan karena di sana ada Phupa.

Dari adegan Tian membaca diari Torfun di episode 1, aku sebenernya mulai agak khawatir, karena isi diarinya adalah soal pengalaman Torfun yang menyenangkan di desa. Sebagai orang yang tinggal dekat dengan pedesaan dan pernah nyicip tinggal di ibu kota, dalam hati diem-diem aku menyangkal semua yang Torfun tulis (karena hidup di Jakarta tuh enak banget gak boong). Meski kemudian aku ingat soal latar belakang keluarga Torfun yang bisa bikin dia betah di desa (dengan ada atau tidaknya sosok Phupa); dia cuma tinggal sama bibinya yang judes naudzubillah, jadi ya jelas dia bakal lebih nganggap desa itu kayak rumahnya.

Selain itu, adegan baca diari ini adalah puncak dari kemelut (yailah) dari benak Tian semenjak dia tahu kalau dia gak jadi meninggal. Jadi mari kita bahas kembali episode 1.

Oke, pertama, kenapa Tian bisa ngide banget pergi ke Pha Pun Dao, desa terpencil di perbatasan bagian utara Thailand? Padahal dia orang kaya, ibunya ngemanjain, ayahnya pejabat, dan baru lima bulan selesai operasi transplantasi jantung?

Banyak yang bilang episode 1 itu ngebosenin, bahkan sampai ada yang gak lanjut nonton gara-gara episode satunya. Bisa dimengerti kalau penonton pengen nyari alur yang cepet dan momen manis tokoh utama; karena di episode ini, emang gak ada. Tapi episode satu punya banyak hal yang secara sinematis bikin aku kagum, dan justru mutusin buat nonton ATOTS sampai selesai selain delapan menit awal yang aku ceritain di tulisan sebelumnya.

Balik lagi ke pertanyaan di atas, kenapa Tian kepikiran buat jadi guru relawan? Perjalanan dia buat memutuskan ini tuh panjang banget. Kebayang sih kalau di novel bakal ngabisin satu atau dua bab. Kalau di series, semua dimulai dari saat dia bangun sehabis operasi.

Dia bangun dengan obrolan orang tuanya soal ini:

Jadi di malam Torfun meninggal, sebenernya jantung dia bukan untuk didonorkan pada Tian. Tian berhasil mendapatkan jantung karena orang tuanya ngasih uang ke Direktur Wanchai biar bisa nyalip antrian. Terus pas jalan-jalan keluar ruangan, dia kemudian denger perawat pada ngegosipin dia.

Inilah yang jadi awal mula kenapa ada perasaan bersalah dalam diri Tian, sekaligus kemarahan sama orang tuanya. Dia jadi selalu ngerasa ‘dihantui’ sama Torfun yang sosoknya pernah dia lihat dalam mimpi. Apalagi kemudian orang bilang itu keajaiban, terus temen-temennya ngomporin, gimana rasanya punya jantung orang lain? Karena secara gak langsung itu tuh kayak ngingetin Tian sama sesuatu yang seharusnya gak dia terima.

Karena misalnya aku tiba-tiba dapet duit nih, padahal aku tahu duit itu sebenernya hak tetanggaku yang miskin, cuma aku gak bisa balikin atau kasihin ke yang lain. Kalau ada yang nanyain gimana rasanya dapet duit itu, aku gak bakal bisa sepenuhnya jawab seneng. Malah sebel karena seolah-olah bikin aku jadi orang jahat (analoginya gak banget tapi ya semoga dimengerti, wkwk).

Hal itu yang kemudian bikin Tian kepo tentang Torfun, guru relawan di desa Pha Pun Dao yang bisa ia ketahui kehidupannya dari diari yang ia temukan. Sebelum Tian baca buku itu, ada satu adegan yang aku sukaaaaa banget.

Jadi ceritanya, Tian lagi ikut pertemuan dengan rekan-rekan orang tuanya. Di sini dia ketemu orang yang berjasa bikin dia bisa nyalip antrian untuk dapat pendonor.

Tahu apa yang nyebelin? Ini gak cuma soal orang dalam dan relasi, tapi berubah jadi soal bisnis. Si Bapak Wanchai ini minta imbalan, karena Ayah Tian itu ceritanya mantan sekertaris di Kementerian Kehutanan, dia pengen dibantu buat pembukaan lahan kosong karena anaknya pengen bangun hotel. Bah!

Ayah Tian iya-iya aja dong, tapi keadaan jadi gak enak saat si bapak tiba-tiba bilang gini.

Tian yang kesel langsung pamit buat ke toilet. Tapi baru balik badan, dia tiba-tiba ketabrak sama pelayan yang bawa wine.

Please, perhatiin di mana noda merah ngewarnain kemeja Tian. Pas nonton ini aku takjub sih, karena nodanya ada di dada sebelah kiri, tempat jantung :’

Tapi yang lebih bikin takjub lagi, ada adegan setelah ini. Dengan wajah yang bener-bener udah rarungsing karena permintaan maaf pelayan sama kekhawatiran ibunya, Tian akhirnya pamit buat bersihin baju. Tapi sebelum bener-bener keluar, dia balik badan dan kamera nunjukin ini.

Apa yang kalian lihat?

Dengan cuma kepisah sama dinding kayu, ada dua hal yang berbanding terbalik. Di sebelah kanan adalah orang-orang yang masih membicarakan pembebasan lahan (20 hektar btw) dengan santuy dan bahagia, dan di sebelah kiri ada seorang pelayan yang lagi dimarahin sama bosnya cuma karena kesalahan numpahin wine. *standingapplause* Scene singkat ini powerful banget menurutku, dia berhasil bercerita sesuatu yang kalau ada dalam tulisan bisa jadi satu paragraf panjang.

Nah, habis pulang dari sinilah Tian baca buku diari Torfun, sambil sesekali megangin luka bekas operasinya dibalik kemeja yang memerah.

Rangkaian adegan sebelumnya, bikin adegan baca buku diari ini kerasa kuat banget. Gimana kemudian Tian jadi ngebandingin hidupnya dan Torfun. Karena setelah divonis hidupnya gak lama lagi, Tian cenderung gak peduli lagi sama masa depan dan cuma bersenang-senang. Tokh gue bentar lagi mati. Sedangkan di buku, Torfun cerita tentang hidupnya yang jadi bermakna setelah mengabdikan diri buat ngajar anak-anak pedesaan. Dia juga jadi ngebandingin kamarnya yang serba nyaman, sama cerita Torfun soal kasur tipisnya yang udah keras. Adegan inilah yang ngebuat Tian akhirnya memutuskan buat pergi ke Pha Pun Dao, desa tempat Torfun mengajar. Gak peduli kalau sebenernya dia tuh kabur, dan gak minta izin dulu.

Oke, hidupku emang gak senyaman Tian. Tapi jujur lihat montase ini aku jadi ikut mikir, hidupku selama ini dipakai apa aja ya? Udah berguna belum ya bagi banyak orang? Kalau aku ada di posisi Torfun yang mati muda, apa ya yang bakal dikenang orang-orang soal aku? Dengan sekian fasilitas dan kenyamanan yang aku punya, aku udah ngelakuin apa aja? Walaupun aku gak divonis hidup bentar lagi kayak dokter, jangan-jangan aku sebenarnya terlalu egois dan gak peka sama sekitar.

Dalem banget.

Fiuh, aku jadi capek dan bakal ngelanjutin resensi di bagian selanjutnya aja, hahaha. Aku gak nyangka bakal sepanjang ini. Dah!

Oh ya, buat yang suka tulisanku dan pengen ngedukung buat tetep menulis, boleh banget ngasih tip atau langganan lewat karya karsa. Pembayarannya bisa lewat OVO, Gopay, ATM dsb. Link-nya ada di sini. Terima kasih!

Diposkan pada Sebuah Cerita

Ada Apa Dengan A Tale of Thousand Stars? Sebuah Resensi yang Diselundupi Curhat dan Kontemplasi – 1

Sesuai dengan tulisanku kemarin, dan wow-amazing-aku-sedang-rajin, jadi aku bisa mewujudkan tulisan ini. Sebenernya aku agak maju mundur nulisin ini karena genre series yang akan aku bahas ini masuk ke kategori boys love, tapi setelah ditimbang cukup lama aku akhirnya mutusin buat ngejadiin aja tulisan ini.

Pertama, karena apa yang akan aku bahas lebih bersifat teknis dan aku gregetan gak nemu tulisan/video yang membahas soal ini secara dalem; kedua, aku udah lama gak nulis resensi film/drama padahal udah banyak banget yang aku tonton, jadi aku pikir kenapa gak mulai lagi dari sini; dan ketiga, aku bakal setengah curhat, wkwk.

Pada dasarnya aku emang suka nonton, punya batasan soal genre tertentu yang gak bisa aku tonton macam gore, horor tapi kadang diterabas karena aku lemah sama satu hal; premis yang menarik. Jadi selama premisnya unik atau menjanjikan, aku bakal nyoba nonton walaupun punya efek samping nyesel karena gak sesuai ekspektasi atau bakal ngerasa attachment berlebihan kalau ngelebihin ekspektasi.

Dan A Tale of Thousand Stars ini termasuk yang kedua.

Aku sebenernya gak asing dengan film Thailand. Dari dulu udah seneng sama film garapan GTH hingga berubah jadi GDH. Tapi baru merambah ke series akhir-akhir ini karena aksesnya yang gampang dan legal, yaitu cuma lewat Youtube dan udah ada subtitle-nya. Bahkan bisa premier dan nonton di waktu bersamaan dengan saat series tayang di Thailand—sebuah pengalaman yang belum pernah aku rasain selama ngikutin drama korea.

Saat trailer ATOTS muncul di awal tahun, reaksiku cuma satu; kok bisa ada yang kepikiran masukin semua elemen yang aku banget di satu cerita? Star and astronomy thingy, pedesaan dan kearifan lokal, pendidikan ke pelosok, hutan dan isu lingkungan, dan tentu aja kisah cinta. Apalagi pas aku tahu premis dan lihat video behind the scene-nya yang dirilis duluan, aku nyerah buat nahan-nahan gak nonton. Dengan latar cerita di pegunungan dan selama pandemi pula, effort kru sama aktornya selama syuting tuh luar biasa. Cerita pra-shoot aja udah seru, apalagi dengan hasilnya?

Ini salah satu video behind-nya, yang lain mereka rilis di youtube 🙂

Asli. Ekspektasiku jadi tinggi banget.

Apalagi kemudian, ekspektasi itu terpenuhi di episode pertama. Bahkan mungkin cuma montage di menit-menit awal dengan Voice Over tentang: kematian.

Jujur, walaupun jarang ada yang bahas, sampe sekarang aku suka banget bagian pembuka di episode satu. Gimana mereka nyeritain tiga tokoh yang akan menggerakkan cerita di tiga tempat berbeda namun terjadi di waktu yang sama. Buagusss banget! Delapan menit yang dipakai bener-bener efektif ngasih info ke penonton tentang latar belakang tiga tokoh itu tanpa ngasih spoiler belerbihan tentang cerita selanjutnya.

Pertama, soal Tian, yang segera bakal kita tahu dia adalah penggerak alur cerita karena suara dia yang muncul selama adegan awal. Di delapan menit yang berharga ini, kita dikasih tahu kalau dia lagi main judi bareng temen-temennya. Cukup dengan adegan ini, penonton udah bisa bekesimpulan tentang banyak hal; status ekonomi Tian, karakternya, hingga penyakitnya (walaupun gak detail, tapi kita udah dapet info kalau dia ini punya umur yang gak lama lagi).

Kedua, Phupa. Jadi di malam yang sama tapi di tempat yang jauh beda, ada tokoh kedua yang lagi berpatroli di hutan. Mereka lagi berusaha menangkap seseorang dan terjadi baku tembak di sini. Mungkin gak banyak informasi secara verbal/dialog soal Phupa di sini, tapi kalau baca premis atau sinopsis sebelum nonton, kita udah punya bekal info kalau dia ini seorang polisi hutan.

Ketiga, yang paling menarik, Torfun. Kenapa menarik? Karena latar belakang karakter dia berhasil tersampaikan cuma lewat SATU dialog aja. Jadi di malam yang sama, di jam yang berbarengan, tapi di tempat berbeda, seorang gadis pulang malem dengan menggunakan bus lalu ditelepon sama bibinya yang judes, awalnya ngobrolin pulang jam berapa, tapi kemudian berakhir ngobrolin duit. Singkat, tapi kita jadi tahu kalau mereka ini gak akur karena si bibi ini suka ngebuang-buang uang yang dikirim Torfun buat judi. Semua informasi singkat ini berharga banget karena kemudian tokoh ini meninggal.

Aku melongo. Apalagi pas scene ini muncul.

Lupakan soal penyebab kenapa Torfun tiba-tiba ke tengah jalan yang bagi banyak orang terlihat konyol. Tapi semua yang dia lakukan malem itu adalah informasi penting yang harus penonton ingat sampai akhir series. Entah foto Phupa yang Torfun pandangi sebelum ia terbawa angin ke tengah jalan, atau soal buku diari yang akan menemani kita mengikuti cerita.

Tahu gak apa yang bikin aku suka banget sama adegan ini? Gak cuma soal rangkaian adegannya, tapi juga soal arti di baliknya. Bahwa si jam yang sama, ada Tian yang lagi judi dan ngerelain jam tangan mahal sama mobilnya gitu aja, dan Torfun yang lagi bingung ditagih duit sama bibinya yang ngeluh kalau uang kiriman kurang. Di waktu yang sama ada Tian yang mikir kalau dia akan mati, dan ada Torfun yang mengira kalau dia bakal ketemu hari besok buat bisa ketemu sama Phupa lagi. Di waktu yang sama pula ada yang meninggal, dan ada juga yang dapat kesempatan kedua buat hidup kembali.

Serius. Delapan menit pertama sebelum lagu intro itu masterpiece banget. Aku gak benci siapa-siapa dan memihak siapa-siapa karena emang hidup terkadang emang kayak gitu kan? Apalagi sepanjang episode satu ini, kita bakal disuguhin banyak perbandingan soal hidup, yang gak hanya membuat Tian akhirnya memilih buat pergi ke gunung sebagai guru, tapi juga penonton memikirkan banyak hal soal hidupnya.

Seenggaknya itu yang terjadi sama aku.

Nanti bakal coba aku lanjutin di bagian kedua. Semoga wow-amazing-aku-sedang-rajin belum pergi dulu, hehe.

Oh ya, buat yang suka tulisanku dan pengen ngedukung buat tetep menulis, boleh banget ngasih tip atau langganan lewat karya karsa. Pembayarannya bisa lewat OVO, Gopay, ATM dsb. Link-nya ada di sini. Terima kasih!

Diposkan pada Sebuah Cerita

Karya Seni (Buku, Musik, Film, Series, Drama) Yang Berhasil Mengubah Perspektif Tentang Hidup

Lebay judulnya ya? Habisnya bingung mau dikasih judul apa, hehe.

Yang pasti aku pengen share apa saja yang aku baca, aku tonton, aku dengerin sepanjang hidupku dan berhasil ngasih sesuatu lebih dari sekedar hiburan. Sampai akhirnya aku tertarik atau punya perspektif baru soal hidup. Gak peduli sekacangan apa, atau senyeleneh apa, asal aku ngerasa aku berhasil dapet pengalaman luar biasa selema menikmati karya itu, aku bakal masukin ke daftar ini.

1. [Buku] Ketika Merah Putih Terkoyak – Carl Chairul

Bertema tentang mempertahankan kemerdekaan dan berlatar di daerah Sumatera Barat, buku yang berat dan agak dewasa ini justru aku baca pas kelas 6 SD, hahaha. Aku ingat dulu bangunan perpusatakaan di sekolahku lagi renov, dan semua bukunya ditumpuk gitu aja. Aku lalu iseng bawa beberapa buku dan aku simpen di kolong meja. Sebenernya ada lagi buku yang berkesan, tapi buku ini yang paling aku inget judul sama nama penulisnya. Selain bikin aku seneng sama budaya Minangkabau, buku ini ngasih aku pelajaran soal cara bangun latar dan nulis deskripsi di novel. Karena buku ini aku jadi kebayang kalau nanti bisa nulis secara konsisten, bentuk karya aku hasilkan bentukan fisiknya bakal kayak gini.

2. [Anime] Detective Conan

Dulu tiap hari Minggu, anime ini tuh yang paling aku tunggu. Bahkan kalau versi film bioskopnya ikut tayang di sore hari, aku gak bakal bosen dan tetep nonton. Dulu sih gak sadar, tapi belakangan aku jadi inget kalau aku jadi seneng nulis resensi film karena Conan >.<

Jadi, tiap beres nonton, aku selalu buat tulisan soal alur cerita, hal apa yang aku suka, hal apa yang aku gak suka, dan semua kesan yang aku dapet selama nonton.

3. [Film] Mohabbatein

Pecayalah aku pernah cinta banget sama film-film India. Se-cringe apapun pas aku tonton lagi sekarang, tapi cerita-cerita mereka tuh penyumbang terbesar buat banyak cadangan alur dan banyaknya bank emosi saat aku nulis. Mungkin karena itulah tulisanku cenderung mellow dan drama, haha. Cerita film India juga ngasih kontribusi buat aku berangan-angan soal kisah cinta pas nanti aku udah gede, wkwk. Salah satu film yang ngasih dampak lumayan itu Mohabbatein. Film-nya panjang banget, dulu pas di TV aku pernah nonton jam 12 siang dan baru selesai jam 6 sore. Karena diseling iklan yang panjangnya naudzubillah. Sekarang, aku masih suka film India, tapi yang bukan bertema cinta, terutama produksiannya Amir Khan.

4. [Buku] Ayat-ayat Cinta

Buat baca buku ini, aku inget banget sampai harus ngantri berbulan-bulan dari temen sekelas. Filmnya memang lagi booming, tapi berhubung waktu itu aku gak bisa ke bioskop, jadi ya aku ngantri pinjeman buku aja. Hasilnya? Aku nangis bombay di chapter terakhir, karena setelah aku nonton filmnya, ceritanya memang beda dari buku. Kalau di film kan lebih menonjolkan soal poligami, sehingga aku sebagai gak bisa relate. Sedangkan di buku aku mendapat pelajaran yang lebih bersifat spiritual, terutama dari karakter Maria. Serius, aku bagian terakhir buku ini gold banget. Aku gak akan pernah lupa gimana sensasinya setelah selesai baca dan gimana aku akhirnya memandang soal ketuhanan.

5. [Drama] Hwang Ji Ni

Aku gak selesai nonton drama ini karena dulu nonton di televisi jam tayangnya berubah. Padahal di episode terakhir nonton aku sedih banget setelah tokoh Eun Ho yang jadi love interest-nya Hwang Ji Ni ini meninggal. Alhasil, karena galau dan ngerasa ganjel, aku buat cerita sendiri deh. Dan secara mengejutkan si cerita yang alurnya jadi beda banget dari drama aslinya itu berhasil menjelma jadi satu buah naskah novel.

Setelah nyicil nyetak dari uang saku dan ngumpulin uang buat ongkos kirim, aku lalu ngirimin naskahnya ke Gramedia, karena emang cuma penerbit itu yang dulu aku tahu. Gak perlu waktu lama aku dapet surat penolakan pertamaku, yeay! Ya gimana ya, aku kalau baca lagi naskahnya juga geli sendiri. Kebayang sih editornya baru baca sinopsis langsung tekan tombol tolak kayak di X Factor.

Selain soal ngasih kekuatan luar biasa buat bisa nulis hampir 400-an halaman, semua lagu-lagu OST di lagu ini juga bikin aku suka banget sama musik instrumental. Aku masih suka dengerin lagu-lagunya sampai sekarang, loh. Bikin lancar nulis tulisan yang punya mood sedih dan penuh drama, hehe. Selain itu aku juga jadi seneng sama tarian tradisional dan puisi, soalnya tarian di drama ini menurut aku indah-indah banget.

Oh ya, tahun lalu aku nyoba buat nonton ulang dramanya, setelah channel KBS meng-upload ulang drama klasiknya di Youtube. Selain mencoba menyegarkan memori tentang ceritanya, aku juga berharap bisa dapat impact yang sama dengan saat aku nonton pertama kali pas umur 15 tahun. Alih-alih soal kisah cinta, aku justru jadi menggarisbawahi soal kepribadian Hwang Ji Ni yang memang menarik. Kisah cinta pertamanya yang kandas bareng Eun Ho itu ternyata memang sebagai pemantik bagi tumbuhnya sosok seorang perempuan yang pintar dan tangguh. Terlepas statusnya dia yang cuma seorang gisaeng.

Sayangnya, aku juga berhenti di episode yang sama dengan saat aku nonton pertama kali.

6. [Drama] The Great Queen Seondeok

Masih soal wanita tangguh yang berhasil menjadi ratu pertama di Korea, drama ini masih jadi pemegang rekor drama yang aku tonton ulang paling banyak. Padahal episodenya ada 62! Drama yang sempat tayang di televisi Indonesia meski masih tayang di televisi Korea ini, bahkan tetep aku tonton ulang saat MBC meng-upload drama klasiknya di kanal Youtube. Meskipun gak banyak yang suka ngebahas di sosial media, drama ini masih jadi standar bagiku soal drama yang bagus. Aku bahkan udah ngebuat tulisan terpisah soal drama ini di sini.

Drama ini juga ngebuka ketertarikan aku soal politik dan pemerintahan. Ketika ada peristiwa politik yang aku lihat di berita, dari mulai soal pemilu, koalisi, sampai mengendalikan opini masyarakat, aku selalu ingat drama ini. Bahkan setelah aku tonton ulang, drama ini tetep memberikan sensasi yang sama dengan saat aku nonton pertama kali pas SMA.

7. [Buku] Nasionalisme dan Berani Mengubah – Pandji Pragiwaksono

Mungkin ini ada efek dari mulai adanya ketertarikan soal dunia politik di masa penghujung masa SMA. Alhasil waktu masuk perkuliahan, semua hal berbau kenegaraan dan politik itu jadi menarik. Gak peduli waktu itu perkuliahanku sebenernya berkaitan sama bisnis dan ekonomi, aku lebih sering baca soal perpolitikan. Saat kuliah adalah saat pertama kali aku merasakan gimana rasanya beli buku pakai uang sendiri, maka selain Nasional.Is.Me, buku Pandji lain yang akhirnya aku beli adalah Berani Mengubah.

8. [Buku] Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk – Tere Liye

Idealisme masa aku sebagai mahasiswa juga ikut dimanjakan oleh dua buku fiksi milik Tere Liye, Negeri Para Bedebah dan Negeri di Ujung Tanduk. Gak peduli setebel apa, aku berhasil ngabisin bukunya cuma dalam dua hari. Seru banget, gambaran soal dunia politik yang lihat di drama Queen Seondok, tampil lebih kekinian dan relatable di sini. Sampai sekrnag, sua buku itu masih jadi buku favorit dari semua buku Tere Liye.

9. [Film] Tanah Surga … Katanya dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini)

Punya akses internet mulai memengaruhi media yang aku konsumsi. Meski buku belum sepenuhnya tergeser, tapi aku mulai menikmati yang namanya nonton film. Tidak jauh-jauh, film yang akhirnya membekas banget sampai sekarang masih tentang menertawakan negeri ini. Tanah Surga… Katanya dan Alangkah Lucunya (Negeri Ini), kalau ada waktu nonton ya, boleh salah satu boleh dua-duanya.

10. [Musik/Buku] Seri Album The Most Beautiful Moment In Life + Wings – BTS (Demian – Herman Hesse)

Kalau yang lain timeline mengenal karyanya hanya di saat tertentu, maka lagu Kpop punya waktu yang panjang. Aku udah dengerin lagu korea dari sejak SMA. Tapi aku baru menemukan satu hal yang menggunggah dan bahkan nemenin aku selama masa krisis identitas karena perubahan menuju dewasa pada album milik BTS: seri The Most Beautiful Moment In Life dan Wings.

Keduanya bukan cuma soal lagu, pesan yang disampein mereka lewat konsep, lirik lagu, hingga musik video, membuat aku ngerasa gak sendirian. Disaat aku kebingungan mau cerita ke siapa, dan emang bingung juga mau nyeritainnya gimana, karena semua masa transisi dari remaja ke dewasa itu ngebingungin, aku kayak dapat nasihat dan temen saat dengerin lagu-lagu di album The Most Beautiful In Life.

Apalagi kemudian saat mereka rilis album Wings, yang konsepnya mereka diambil dari novel milik Hesse berjudul Demian. Aku membaca bukunya dari blog yang menerjemahkan dan untuk beberapa hari aku ngerasain hal yang aneh. Agak mistis. Tapi hilang dengan sendirinya. Aku lupa apa yang terjadi, tapi pandangan aku soal kehidupan sedikit banyak menjadi berubah.

11. [Series] A Tale of Thousand Stars

Bayangin ini. Tahun baru, kamu orang dewasa yang lagi lost banget karena gak bisa buat resolusi apa-apa setelah yakin tahun ini bakal sama aja. Terus aku nonton sebuah trailer series yang akan tayang di akhir bulan Januari, di dalemnya ada seorang cewek jadi guru sukarelawan di desa terpencil, jadi pendonor organ, dan… jatuh cinta diam-diam. Aku kan langsung kepikiran apakah ini adalah aku di dunia paralel?! Hahaha.

Maka kemudian aku semakin penasaran dengan series ini, aku kepoin behind the scene-nya yang menceritakan perjuangan mereka syuting di gunung di tengah pandemi dan kemudian bikin aku mantepin diri buat mengesampingkan kalau series ini adalah series BL (boys love) dan nyoba nonton episode satunya.

Dan ternyataaa… bagus saudara-saudara! Sama sekali gak ngecewain. Kalau ditanya sekarang setelah nonton semua episode, episode satu adalah masterpiece. Opening scene-nya berhasil ngerangkum tiga cerita bersamaan, pondasi ceritanya dibuat dengan baik, dan aku dapet vibe film parasite di sini, haha. Bukan secara teknis sih, tapi lebih soal pesan, soal ketimpangan sosial dsb. Karena masih baru, ingatanku soal membahas series ini bisa panjang, jadi mungkin aku akan buat tulisan terpisah (kalau rajin).

Tapi yang pasti, setelah bertahun-tahun, aku senang karena menemukan kembali suatu karya yang bisa ngasih aku sesuatu. Aku sadar makin dewasa aku gak bisa lagi dijejali hal yang sama dengan sebelumnya. Dan series ini cukup dewasa untuk membuatku menjadi memikirkan banyak hal soal hidup, terutama tentang, apakah selama ini hidupku sudah cukup berguna bagi orang lain?

12. [Film] Soul

Rutinitas, mimpi-mimpi yang kalah, merasa jadi pecundang, capek dengan kerjaan, bahkan capek tanpa alasan, adalah hal yang kemudian tak menjadi negatif di mataku setelah menonton film ini. Melengkapi apa yang aku dapat dari series A Tale of Thousand Stars, film ini ngasih tahu soal bersyukur dan menikmati kehidupan setiap detiknya. Aku gak bakal buat resensi, tapi yang pasti kalau kalian punya waktu luang, coba tonton film ini ya. Kalian gak akan rugi, aku jamin.

Diposkan pada Belajar, Prosa, Sebuah Cerita, Tulisan

JYP Entertainment Itu… 3.0 (Sebuah Curhatan Terbuka Dari Penggemar Lama yang Takut Di-bully karena Sering Ngebela Agensi)

Butuh waktu lama buat aku memutuskan untuk menulis ini. Anggap saja curhat, karena aku sadar diri teman-teman seumuranku sudah jarang yang masih bergelut dengan dunia musik korea. *hela napas*

Ini adalah tulisanku tentang JYPE yang tidak bermaksud untuk berseri namun nyatanya telah sampai di bagian tiga. Tulisan terakhir sepertinya ada di tahun 2017 lalu dan yang pertama di tahun 2014. Sudah cukup lama.

Dan selama itu, aku sadar kalau aku sudah semakin tertinggal.

JYPE semakin besar, artisnya semakin sering datang silih berganti, penggemarnya semakin banyak, dan… semakin ribut.

Tahu apa yang melelahkan?

Jika di dua tulisanku sebelumnya aku menulis tentang JYPE sebagai usaha menjelaskan pada orang lain yang tidak menyukai artisnya, tapi sekarang aku harus menuliskan ini untuk orang-orang yang justru menyukai artisnya. Kasarnya, jika sebelumnya aku berperang melawan pihak luar, sekarang aku harus berperang melawan teman sendiri.

Aku tahu mungkin penggemar-penggemar lama sepertiku ini kadang menyebalkan, sombong karena sering bawa-bawa kartu ‘tahu dari nol’ atau kenal dari awal debut, seolah-olah pengen dihormati sebagai senior.

Tapi di balik itu semua, kami sebenarnya gagap dengan perubahan.

Kami yang dulu bisa dengan mudah ‘menjangkau’ si artis karena belum terlalu terkenal, kami yang dulu merasa dekat dengan menyaksikan si artis yang masih buluk berbagi cerita tentang mimpinya untuk naik daun, kami yang bersama-sama dengan lingkaran kecil berusaha untuk ‘meracuni’ siapa saja untuk punya kesukaan yang sama, kami yang menyaksikan bagaimana si artis jatuh bangun tak dikenali. Kami, adalah segelintir orang-orang yang mungkin menyebalkan itu.

Kami tentu saja bangga dengan perubahan dan perkembangan si artis. Meski terlihat misuh, jauh dalam hati ada rasa haru karena bisa melihat idola menjadi mentereng, bak bapak petani yang melihat malika menjadi kecap yang disukai banyak orang.

Dan tahukah, aku merasakannya gak cuma pada satu artis, tapi banyak, bahkan pada agensinya sendiri.

Jika harus buka kartu, dan bisa dilihat sendiri dari titimangsa semua tulisanku di blog ini, aku menyukai JYPE dari 10 tahun lalu. Dari kantornya super sempit dengan kubikel yang berdesakkan, dari sebuah gedung kecil depan toko donut, hingga akhirnya bisa punya gedung bertingkat di pinggir jalan besar.

Sebagai orang yang pernah belajar dari sekolah kepunyaan Kementerian Perindustrian, aku sejak dulu kagum dengan bagaimana industri KPop berjalan. Aku belajar banyak soal bagaimana industri mereka bekerja, dan karena itu kemudian simpatiku jatuh pada JYPE. Aku juga senang dengan dunia seni, karena itu aku juga selalu berusaha memahami apa yang diinginkan artis dan karyanya dari sudut pandang idealisme berkarya; terlepas dari urusan modal dan bisnis yang dijalankan agensinya.

Selama bertahun-tahun bergelut menjadi penggemar artis-artis JYPE, aku sempat ngerasa kesepian. Gak ada temen. Artisnya gak dianggap. Teman-teman yang  menyukai musik Korea, jarang yang suka dengan artis JYPE. Sekalinya ada yang terkenal, dihujat rame-rame. Tapi aku gak bisa lama-lama stres, karena lingkaran pertemanan dengan sesama penggemar artis-artis JYPE itu sangat menyenangkan. Tidak besar, tapi sekali lagi; menyenangkan.

Tapi saat satu persatu mereka berhenti dan lepas dari dunia ke-korea-an, waktu berganti, artis baru muncul, semakin terkenal, JYPE tumbuh tak terkendali, sempat menggeser SME dalam hal market share, saat itulah aku ngerasa harus menelan pil manis dan pahit sekaligus.

Memang menyenangkan karena kini bisa bertemu dengan orang-orang yang memiliki minat yang sama dengan mudah, tapi melihat pertengkaran karena hal sepele antar penggemar artis yang sama-sama berada di naungan JYPE juga gak kalah mudahnya. Orang-orang mulai punya pembanding soal cara promosi dari artis lain, orang-orang mulai lupa dengan esensi menikmati karya dan tergerus arus indutrialisasi dan euforia kemenangan. Menginginkan pengakuan sebagai yang terbaik memang tidak salah, tapi kalau sampai membuat ketidaknyamanan dan pertengkaran, itu yang salah.

JYPE memang bukan perusahaan terbaik, sejak dulu aku sudah tahu. Apalagi di tulisanku yang pertama aku mengumpamakan artisnya sebagai orang yang tidak akan membuat orang suka karena talentanya, tapi karena bagaimana mereka berproses untuk menunjukkan talentanya. Kau akan suka dengan bagaimana Junho dan Jun.K 2PM yang dulu member underrated kini menjadi anggota yang paling terkenal di Jepang, kau akan suka dengan bagaimana JB berusaha menunjukkan jika lagunya layak untuk didengarkan, kau akan suka dengan cerita perjuangan 3Racha sebelum mereka debut, kau akan suka dengan bagaimana semua angota Twice terus terasah kemampuannya menyanyi seiring waktu, kau akan suka dengan perjuangan anak-anak Itzy untuk debut, juga dengan semua artis solonya yang terus bertransformasi menjadi musisi berkelas.

Kau akan selalu bisa belajar sesuatu dari mereka, bukan hanya haha-hihi idolaku ganteng atau cantik. Tapi kau bisa menemukan motivasi untuk melakukan sesuatu berharga dalam hidup, yang walaupun berbeda bidang, tapi spirit-nya tetap sama.

Aku jelas akan selalu rindu dengan keadaanku saat JYPE masih menjadi perusahaan kecil yang ‘terpaksa’ dikategorikan Big3 meski penjualannya hanya sepesepuluh dari YGE. Tapi jelas aku tak bisa menghentikan mereka untuk bertumbuh dengan modal yang semakin besar, dan mungkin menjadi tempat yang kurang nyaman bagi idealisme beberapa artisnya sehingga memilih untuk keluar.

Karena sebenarnya, itu wajar, sayang.

Artis keluar dari agensi itu wajar, dan itu bukan kesalahan siapa-siapa.

Tak ada yang salah dari artis yang keluar karena kontrak habis. Tak ada yang salah dari penyanyi yang lebih sukses setelah keluar dari JYPE. Tak ada, sayang. Cobalah belajar tentang bagaimana bisnis berdinamika, dan sudut pandang seorang artis yang ingin tetap mempertahankan idelisme-nya tanpa campur tangan para pemodal yang mementingkan keuntungan.

Tak ada yang salah, sayang.

Yang salah adalah, kita terjebak dalam bias sehingga terlalu membenci dan mencintai. Kita menolak untuk tahu sudut pandang lain karena kita terlalu suka atau terlalu benci dengan agensi.

JYPE memang banyak kurangnya, aku tahu semua permasalahan mereka, dari mulai seremeh subtitle konten yang terlambat hingga masalah sosok Park Jin Young yang suka body shaming, atau dianggap narsis, atau nakutin. Yeah, subjective opinion tapi aku tahu banyak yang setuju soal itu. Soal marketing juga, soal kerjaan ke artis yang terkesan overwork, soal promosi di varshow, dan sebagainya yang bisa lebih banyak dari inti tulisan ini kalau diuraikan.

Tapi apakah dengan kebencian itu kalian jadi gak mau membuka mata bahwa si artis pernah belajar banyak di agensinya? Gak cuma soal nyanyi dan nari, sesederhana cara jalan, cara ngobrol di publik, hingga pengetahuan industri secara keseluruhan, darimana si artisnya bisa dapatin itu? Di balik cacian penggemar soal outfit yang jelek, ada puluhan orang yang udah berusaha membuat si artis tetap cantik, gak peduli merekanya sendiri bau ketek.

Dibalik kebencian itu, apa kalian tidak mau membuka mata bahwa si artis dapat penghasilan dari agensinya? Ketika si artis udah bisa beli apartemen mewah, staf agensi mungkin tetep pulang ke rumah sederhananya dan cuma kebagian takjubnya doang. Artisnya udah bisa tidur, manajernya masih harus nyusun jadwal. Artisnya udah kelar syuting, stafnya masih gadang ngedit hasil rekaman. Artisnya udah pindah agensi dan makin terkenal, staf JYPE masih di kerjaan yang sama dengan gaji yang sama. Orang-orang di agensi tuh gak punya fandom gais, mereka mau diprotes terus pun gak yang ngebela.

Dibalik kebencian itu, apa kalian juga gak mau membuka mata kalau para atasan di agensi harus terus bertaruh dengan uang milyaran bahkan triliunan setiap kali mau mempromo artis? Uangnya jelas bukan uang pribadi, tapi uang investor yang jumlahnya mungkin ratusan setelah mereka beli saham. Mereka harus siap kalau si artis kurang diminati, sedangkan uang udah keluar dan mereka harus tanggungjawab sama banyak orang.

Industri Korea itu keras banget. Keras banget. Sedangkan si artis, stafnya, agensinya, adalah manusia, sama dengan kita yang juga manusia. Sama-sama gak sempurna. Terus kenapa ngeluh segalam macam sampe lupa kalau koreaan itu buat bahagia?

Tapi meski sudah sadar itu, jangan terlalu cinta dengan agensi juga. Karena mereka tetep perusahaan yang nyari profit, bukan lembaga nirlaba. Ingatkan kalau ada yang salah, JYPE jelas lebih terbuka dibandingin dulu. Jangan ragu buat ngerasa kecewa dan ‘memarahi’ saat mereka bikin kesalahan. Bantu beberapa penggemar yang ingin menyuarakan hal yang dikira perlu pada agensi. Kan kita itu customer mereka, jadi pendapat kita pasti didenger kok. Pokoknya jangan mendewakan, biasa aja.

Aku mungkin terkesan membela agensi kayak yang aku tulis di judul, tapi aku yakin aku gak mungkin bisa tahan bertahun-tahun nyari hiburan dari JYPE setelah tahu banyak hal kebobrokan mereka. Harusnya aku udah ilfeel, apalagi terus beberapa kali dipojokin dan capek sendiri lihat orang yang lempar bom verbal. Tapi menurutku, selama aku bisa nemuin alasan yang logis dari semua kesalahan yang JYPE lakuin, aku masih mau nunggu bakal sejauh apa mereka berkembang.

Lagian, sebagai sesama manusia, yang juga menggemari hal yang sama, kenapa gak saling berbagi bahagia aja sesuai tujuan dari semua ini sebagai hiburan belaka? Jadi, berhenti bertengkar dan lebih baik dalam berututur bisa kan?

 

 

NB.

Aku menulis dengan gaya yang tidak terlalu curhat mengenai JYPE di wattpad. Beberapa topik yang dianggap permasalahan di JYPE akan aku coba urai disana dari sudut pandang netral.

Diposkan pada Prosa, Tulisan

[Undercover] Kenapa Boy Group JYP Sulit Masuk Chart Musik Korea?

Halo! Stray Kids comeback everyone!!! Yeay!

Setelah euforia bentar, lanjut up date satu hal yang selalu dipantau ketika ada artis yang comeback: prestasi lagu/album di chart musik.

Tapi sayang seribu sayang nih, untuk comeback kali ini, Stray Kids dapat hasil yang tetap sama dengan comeback mereka sebelumnya. Walau bisa masuk di posisi pertama untuk iTunes di beberapa negara, bahkan M/V-nya bisa trending di US, tapi mereka gak masuk sama sekali di chart musik Korea yang notabene negara mereka sendiri. Cuma sempet masuk di Bugs sebelum akhirnya tumbang lagi.

Banyak yang bilang kalau hal itu menunjukkan musik Stray Kids gak sama dengan selera musik pendengar musik di Korea sana. Lalu mengaitkan dengan nasib senior-senior boy group Stray Kids di JYP; GOT7 sama Day6 yang juga mengalami kesulitan yang sama.

Wah, kenapa ya? Apakah musik boy group JYP sejelek itu dan JYP cuma beli viewers di YouTube?

Ayo kita kupas bareng-bareng kayak bawang, dari mulai lapisan pertama; lapisan eksternal, yaitu sisi luar yang gak bisa dikendalikan oleh JYP sendiri, hingga ke lapisan internalnya biar ala-ala liputan investigasi.

  1. Sisi Eksternal

Dilihat dari sini, menurut aku ada satu hal yang sangat berpengaruh: keadaan pasar yang jenuh. Yup, pasar boy group di Korea itu udah JENUH alias padat alias kebanyakan.

Karena apa?

Karena usia boy group itu bisa lebih panjang dari girl group. Kalau di boy group membernya udah pada nikah, mereka mau comeback dengan konsep yang sama dengan saat mereka masih muda juga oke. Tapi kalau girl gorup? Sunye Wonder Girls aja ngundurin diri pas dia mau nikah, dan sekarang pas mau comeback ke dunia musik, malah gak jadi karena ternyata dia lagi hamil anak ketiga.

Itulah kenapa grup-grup perempuan legendaris di generasi pertama udah gak ada lagi, di generasi kedua juga udah banyak yang bubar: KARA, Wonder Girls, 2NE1, 4Minute, Miss A, Sistar. Kalaupun masih ada, tapi kayak gak ada kabarnya macam f(x) atau T-ara. Mungkin hanya SNSD yang masih bertahan, meski harus rela kehilangan anggota.

Sedangkan untuk boy group, grup di generasi pertama macam Shinwa aja masih aktif. Meski mereka kehalang wajib militer, tapi mereka masih punya peluang untuk kembali ke panggung musik. Misal Super Junior yang kemarin bisa comeback, DBSK, Shinee, Highlight, mereka juga masih aktif promosi secara utuh. Maka dengan ditambah sekian puluh boy group di generasi selanjutnya, kebayang dong betapa padatnya persaingan pasaran grup laki-laki ini.

Selain itu faktor loyalitas fans juga pengaruh. K-poppers banyak yang perempuan kan? Aku pikir inilah kenapa boy group jadi pilihan banyak agensi buat di-debut-kan (dan konsep girl crush di girl group jadi primadona buat narik perhatian). Ketika satu boy group udah besar dan punya fanbase yang kuat, mereka akan berubah jadi market leader, dan cenderung cuma ngasih celah sempit buat boy group baru dapat jatah ‘perhatian’.

Makanya waktu acara survival Stray Kids, aku setuju banget sih sama statement JYP yang bilang kalau boy group itu udah banyak banget. Jadi kalau gak punya sesuatu yang beda, ya bakal sulit terindetifikasi diantara lautan(?) grup lain. Itulah kenapa JYP berusaha ‘menjual’ independensi Stray Kids sebagai pembeda begitu mereka dilempar ke pasar. Karena sebenarnya Stray Kids emang udah punya modal untuk bersaing dengan positioning sebagai grup yang membuat segala sesuatunya sendiri.

Maka ditengah loyalitas fans ke boy group senior dan makin padatnya pasar dengan grup-grup baru, aku pikir mereka masih butuh banyak waktu buat nunjukin ‘kalau gue beda’ di pasar musik. Dengan syarat, mereka harus konsisten dan kuat dengan positioning yang dibentuk JYP sejak awal.

  1. Sisi Internal

Lanjut ke lapisan kedua, yang berasal dari internal JYP-nya sendiri.

Apakah selera musik anak-anak cowok asuhan JYP gak sama dengan orang Korea? Ditilik ke belakang, lagu debut 2AM yang This Song menurut aku termasuk lagu ‘panjang umur’ karena masih dikenang dan masih suka di-cover sampai sekarang.

Lagu Can’t Let You Go Even If I Die milik mereka juga sukses besar loh. Berhasil keluar jadi Song of the Year tahun 2009 di Melon Music Award. Padahal 2AM itu grup ballad, asli cuma nyanyi dan gak ada dance sama sekali. Faktor utama mereka selain vokal ya harus lagunya.

Terus saudaranya, 2PM. Punya lagu Again Again sebagai penyabet gelar Song of The Year juga di tahun 2009 dalam acara KBS Music Festival. Padahal lawannya berat tuh, ada Sorry Sorry milik Super Junior sama Gee dari SNSD. Lagu-lagu mereka selanjutnya, dari Heartbeat, Without You, I’ll be Back, hingga Hands Up (hayoh siapa yang gak tahu, ini lagu nge-hits sampai ke Indonesia) dan All Day Think of You semuanya sukses di pasaran.

Aku mau nyebutin Rain, tapi dia solois, padahal lagu-lagunya macam Rainism dan It’s Raining juga sukses. Bahkan JYP-nya sendiri punya banyak hits yang ‘hidup’ sampai sekarang, kayak Honey, Don’t Leave Me, dsb. Sampai dia bilang ia hidup dari zaman jualan lagunya lewat kaset, terus CD, terus streaming xD.

Tapi di balik semuanya, saat itu JYP Entertainment selalu dapet kritik pedas, yaitu terlalu Park Jin Young-sentris.

Diantara Big 3, satu-satunya kritik buat JYPE itu selalu sama, yaitu tentang ketergantungan mereka sama lagu-lagu JYP. Padahal itu bahaya. Karena kalau Park Jin Young gak ada, dia bakal bawa perusahaannya ikut gak ada.

Sampai GOT7 debut di awal 2014, lagu debut mereka Girls Girls Girls pun ternyata masih buatan JYP, bahkan selama setahun mereka comeback tiga kali bareng lagu dan Stop Stop It, semua lagunya masih buatan JYP.

Hingga akhirnya ada pencerahan nih, di pertengahan tahun 2014, Yeeun Wonder Girls debut solo dengan nama Ha:felt, satu album dia tulis sendiri! Lagunya bagus-bagus dan wow… ini bikin terkejut bukan cuma ‘akhirnya… JYP bisa percaya artisnya buat lagu sendiri‘, tapi emang sealbum itu bisa nunjukin sisi musikalitas Yeeun. Keren, aset berharga nih. Gak nyangka kalau selama ini Yeeun punya bakat terpendam.

Setelah itu, JYP akhirnya mulai pelan-pelan lepas tangan ke artis LAMA mereka. Setelah sebelumnya ngasih kesempatan buat beberapa member buat nulis lirik di lagu album Hands Up. Maka di tahun 2014, 2PM ngerilis album Go Crazy! yang title track-nya dibuat oleh Jun.K dan beberapa side track yang ditulis member. Disusul album No. 5 dengan lagu jagoan My House karya Jun.K dan Gentlemen’s Game yang title track-nya yaitu I’ll Be ditulis oleh Taecyeon.

Dari sini kita bisa lihat kalau butuh waktu panjang buat grup senior JYP dapet kepercayaan ngerilis lagu buatan sendiri, karena perusahaan masih belajar buat ambil risiko.

Risiko apa?

Risiko gagal. Risiko kalau lagu-lagu buatan member itu ternyata gaungnya gak bisa sekeras lagu-lagu buatan JYP sebelumnya. Risiko kalau pasar gak nerima lagu karena ‘rasanya’ beda. Ibaratnya nih, kita tahu kan dari awal beredar rasa indomie goreng itu begitu, tiba-tiba diubah rasanya kan aneh. Kita bakal bertanya-tanya, Kok rasa indome jadi gini? Padahal yang ngeluarin tetep Indofood.

Nah, kalau 2PM baru sempet ngeluarin tiga album tanpa JYP sebelum hiatus karena wajib militer. Maka GOT7 itu posisinya kejepit, dia ada dalam masa transisi proses belajar agensinya. Makannya mereka konsepnya ganti-ganti, genrenya juga ganti-ganti. Alih-alih dilepas JYP buat nulis lagu sendiri, mereka malah pakai lagu dari produser lain.

Baru kemudian di tahun 2017, JB akhirnya dapat kesempatan untuk nulis title track di album 7 of 7, yaitu You Are. Jadi, GOT7 itu bukan gak berbakat, bukan juga lagunya gak bagus, tapi mereka jadi harus terus-terusan rebranding, karena konsep dan lagunya ganti-ganti. Bandingin sama 2AM yang konsisten dengan konsep ballad dan 2PM dengan beast idol-nya. 2PM juga kedodoran kok saat akhirnya dilepas JYP, karena konsep Go Crazy! itu beda sama lagu-lagu sebelumnya. Tapi setelah itu, GOT7 udah beneran dilepas dan brand yang baru dengan lagu rasa JB juga udah mulai dikenal. Aku pikir lagu Look sama Lullaby yang rilis tahun ini akhirnya bisa membuat mereka dapat apresiasi.

Nah, kalau Day6 itu beda cerita. Mereka debut di saat JYP udah mulai belajar lepas tangan. Hingga mereka pun bisa debut pakai lagu buatan sendiri, Congratulations. 

Tapi ‘kesalahan’ Day6 itu bukan pada lagu (wong lagu mereka suka tiba-tiba trending di Melon, padahal gak lagi masa promosi), tapi pada format mereka yang band, dengan rasa indie. Band rasa idol aja harus susah payah dapat perhatian publik, ini loh rasanya indie. Habis debut, kerjaan mereka cuma busking, manggung di festival sama club, sama ke radio. Gak ada di TV sama sekali. Makannya mereka terlambat dikenali. Jangan heran kalau misalnya banyak yang kaget pas tahu Day6 dari JYP, karena bukan cuma lagu yang ‘rasanya’ beda, tapi juga format yang gak biasa. Coba Day6 debut disini, pasti bakal bisa lebih booming karena kita lebih seneng anak band dari pada dance group.

Beruntung ide Every Day6 tahun kemarin bisa ngejar ketertinggalan gara-gara mereka masih galau soal cara promosi di awal-awal debut. Semoga dengan kekonsistenan dalam hal lagu, image, konsep, dan brand mereka sebagai band yang semuanya bisa nyanyi (Dowoon juga bisa loh), Day6 bisa dapat apresiasi yang lebih di kemudian hari.

Nah, tiga tahun sejak GOT7, debutlah Stray Kids. Mereka  mirip Day6 yang self-composing sejak debut, tapi dengan format lebih umum: dance grup. Makannya jangan heran kalau ‘rasa’ JYP di Stray Kids bener-bener hilang. Anak-anak tersesat ini juga agak lebih beruntung karena JYP udah gak galau dan belajar banyak dari grup-grup sebelumnya. Lihat aja cara mereka promosi dan manfaatin banyak sosial media, menurut aku itu udah peningkatan pesat kalau dibandingin zaman promosi 2PM, hahaha.

Terus kenapa lagu Stray Kids susah nembus chart padahal konsep udah matang dan promosinya udah bagus?

Menurut aku, faktor kuatnya itu dari sisi eskternalnya. Asli. Saat debut SK bareng sama comeback WannaOne, saat comeback pertama barengan sama Red Velvet, dan kemarin mereka barengan juga sama Monsta X dan mixtape RM BTS. Waktu rilis barengan, casual listener platfrom musik digital macam Melon atau Genie pasti bakal lebih ngeh buat dengerin artis yang udah mereka kenal dibandingkan sama artis pendatang baru. Kalau mau masuk chart, biasanya butuh kekuatan fandom, mereka beli streaming pass buat dengerin sesering mungkin sampai bisa trending. Tapi dengan basis fandom yang belum kuat dan lebih banyak anak remaja yang belum punya penghasilan sendiri, streaming di platform musik gitu biasanya gak jadi pilihan.

Lalu apa pilihannya?

Kalau cuma modal kuota ya YouTube (sebelum JYP ngerilis di Spotify yang biasanya agak lama). Itulah kenapa M/V SK cepet naik jumlah penontonnya, karena itu alternatif paling gampang dan murah buat support sebagai fans luar negeri. Menurut aku itu juga tanda kalau fans luar mereka bisa aja lebih banyak.

Jadi, diakuin nih kalau boygrup JYP sekarang emang payah di segi digital?

Bisa jadi. Tapi kayaknya itu gak jadi masalah banget buat JYP-nya. Karena ternyata mereka sendiri gak anggap digital adalah hal utama. Sebelum presentasi Park Jin Young di JYP 2.0, pandangan mereka terhadap prestasi digital artis-artis mereka juga pernah diungkapkan pada tahun 2009 saat diwawancara oleh Midem (tonton di: https://blog.midem.com/2009/07/midemnet-2009-video-conversation-with-jy-park-jyp-entertainment/).

Intinya dia bilang, kalau produk JYPE memang musik, tapi produk utamanya adalah human being :’)

Sedangkan di presentasi JYP 2.0, Park Jin Young bilang kalau mereka lebih mentingin penjualan album fisik. Karena apa? Selain karena kalau digital penghasilannya harus bagi-bagi sama platform music, penjualan fisik itu lebih akurat buat itu nunjukin besar enggaknya fandom.

Maksudnya gini, kalau kamu suka, kamu pasti mau kan mengapresiasi karya idola dengan beli album? Makannya mereka buat printilan banyak, benefit buat yang PO, terus ngasih lagu bonus yang cuma bisa kamu dengerin lewat CD di album. Karena kalau digital, yang bukan fans juga bisa dengerin, random keputar gitu kan bisa. Itulah kenapa aku selalu bilang kalau banyaknya perolehan poin digital itu menunjukan diapresiasi atau enggaknya sebuah lagu. Tapi kalau banyak poin album fisik, nunjukin banyak atau enggaknya fans seorang artis.

Coba lihat ini deh, di tahun ini, penjualan album fisik Stray Kids sampai bulan Oktober aja udah 200 ribuan lebih (aku asumsikan ini belum termasuk sama I am You). Kalau dibagi dengan 3 album (Mixtape, I am Not, I am Who), jumlah penjualan sekali ngeluarin album itu udah 70.000 lebih. Ngalahin penjualan album Seungri sama SNSD Oh! GG.

Nah karena ini udah panjang banget, kayaknya harus aku akhiri sampai disini saja. Aku harap ini bisa ngasih sedikit gambaran tentang faktor apa yang terjadi di balik semua sindiran tentang kenapa boy group JYP susah banget masuk chart.

Hanya karena digitalnya gak bagus, belum tentu lagunya flop. Lagian lagu yang bagus itu bukan karena bisa bertengger di banyak chart, tapi yang bisa kena di hati kamu. Masalah bisa dapat prestasi atau enggak, itu tergantung banyak hal. Tapi masalah bagus atau enggak, cuma hati kamu yang bisa jawab. 🙂

(Repost dari tulisan saya di tanggal 29 Oktober 2018)

Diposkan pada Sebuah Cerita

[Undercover] Sudut Pandang Lain dari Spotfy On Stage 2018

Akhirnya bisa nulis di blog lagi!

Agak semangat karena keinginan cerita setelah kejadian kurang enak pas aku nonton Spotify On Stage 2018 di Jakarta International Expo kemarin.

Rusuh. Desek-desekan. Banyak yang pingsan.

Begitu kira-kira kata kunci yang bakal kamu temuin paling banyak kalau cari tahu soal apa yang terjadi di acara itu saat Stray Kids manggung.

Jadi, emang gitu ya kejadiannya?

Sebelumnya aku mau cerita ini dari sudut pandangku, penonton dengan tiket Free User dan sudah mengantri dari sekitar pukul sepuluh pagi. Bagaimana caranya bisa datang kesana sepagi itu? Karena aku berangkat dari kosan adek di Bandung dari jam lima subuh. Kebayang persiapannya agar bisa berangkat sepagi itu?

Jadi, aku dan adik beda kelas, dia Premium dan aku Pertamax gratisan. Tapi pas cetak tiket, aku selesai duluan karena ternyata kelas Premium sangaaaatt panjang. Nah, karena pernah baca ketentuan kalau Premium bisa  masuk duluan sekitar jam setengah empat sore. Akhirnya aku dan adikku melipir ke Musala setelah berburu freebies karena pikirku masuknya ya nanti sore.

Tapi ternyata pas pulang dari Musala antrian masuk venue sudah panjang banget. Di tengah terik aku males ikut antri lagi, jadilah kita tunggu di tempat teduh. Eh dasar polos, tiba-tiba ada keributan(?) di depan antrian, karena penasaran aku dan orang-orang yang lagi berteduh jadi mendekat. Dan tahukah? Begitu keributan yang konon karena kedatangan artis mereda, aku sama adikku malah tiba-tiba ikut dalam antrian.

Asli gak niat, karena antrian baru tiba-tiba kebentuk dengan cepat dan kami berdua ada di dalamnya.

Atas nama nanggung, kita akhirnya lanjut ngantri di terik panas sampai dua jam lebih. Belum desak-desakannya. Belum pegel kakinya. Belum ngantuknya. Sempet kepikiran buat kembali ke rencana awal buat ngantri nanti sore. Tapi kita sudah nanggung kejepit, keluar juga susah, jadi ya edankeun. Alhasil kta baru bisa masuk gerbang itu sekitar jam empat sore dan masuk ke venue satu jam kemudian.

Begitu masuk venue, orang-orang sudah banyak banget. Nah, terus disana ada pembatas gitu. Pendek saja seatas perut, masih lebih niat pembatas Masjid kemana-mana. Tanpa maksud nyerobot, aku ya lewatin saja pembatasnya. Karena aku gak tahu kalau itu pembatas buat penonton premium. Sejak awal antri aku selalu berusaha nurutin kemana bagian free meskipun sama petugasnya bilang sama saja. Because I never wanna take the others rights. Lagipula aku disitu sampai adekku yang masuk belakangan datang. Habis itu aku tepar cuma duduk-duduk sambil tunggu waktu Magribh.

Acara dimulai sekitar jam setengah tujuh, aku dan adikku ke Musola dulu buat salat magribh. Pas kembali ke venue, penonton sudah penuh banget. Aku sama adikku pisah karena dia pengen ke depan dan aku tahu diri kalau aku harusnya di belakang.

Penampilan Slot Machine, band asal Thailand, jadi penampilan pembuka yang keren banget. Suasana masih kondusif dan semua orang ngasih apresiasi yang baik meskipun aku tahu hampir delapan puluh persennya penonton itu Stay. Begitu masuk Anne Marie, barisan sudah mulai gak kondusif. Para laki-laki tinggi besar heboh nyelinap ke depan dan ngalangin pandangan dengan layar ponselnya. Aku yang tadinya ingin ikut nonton jadi agak males dan akhirnya milih duduk karena kaki juga sudah pegel. Paling sesekali aku berdiri dan pindah sana sini buat cari tempat yang enak buat nonton karena para laki-laki tinggi besar dengan ponsel itu bener-bener ngerekam sampai lagu selesai. Terus aku harus nonton dari layar ponsel Anda gitu, Pak?

Selesai Anne Marie, di layar ngumumin kalau next performer-nya Stray Kids. Nah, beberapa orang di depan itu banyak yang pada mundur. Pikirku mereka memang gak suka lagu K-Pop, jadi mending mundur dulu.

Alhasil ada ruang kosong di depan pembatas itu dan orang-orang pada ngisi ke depan. Sebagai orang yang dari tadi sabar menahan diri dari keegoisan laki-laki dengan layar ponselnya, aku ikut maju. Niatnya ya cuma agar bisa lepas dari mereka.

Tapi berdiri disana itu kayak berdiri ditengah pantai yang berombak #tsah, kamu gak sadar pasir yang kamu injak itu nganterin kamu terus ke tengah laut. Aku lagi-lagi ada di barisan tanpa sengaja jilid dua. Mau maju gimana, mau berhenti kedorong dari belakang. Akhirnya aku sampai di tengah sayap kanan(?) panggung, deket ke panggung sih enggak tapi yang pasti emang masuk ke ranah premium.

Begitu Stray Kids muncul, asli telingaku kasian banget. Kiri kanan teriak gak jelas. Layar ponsel kembali ditiggikan. Karena gak kelihatan jelas ya aku juga ikut ngerekam dengan ketinggian yang juga gak kira-kira. Sebenernya agak sedih sih karena sepanjang mereka nyanyi banyak yang teriak-teriak gak jelas cuma nyebutin nama member, berasa lalala yeyeye acara musik televisi. Padahal kan ada fanchat yang ngasih tempat kapan teriak dan nyebutin nama. Alhasil perform mereka gak bisa seutuhnya dinikmatin kayak dua performer sebelumnya. Walau aku tetep takjub denger rap Changbin atau nada tinggi Chan sama Woojin.

Begitu musik berhenti, mereka kenalan. Teriakan makin gak karuan, gak jelas cuma panggil-panggil nama. Tapi kesannya gak sopan karena si artis lagi ngomong apa penontonnya gak dengerin dan rusuh sendiri neriakin apa. Waktu itu dorongan dari belakang makin kenceng, aku berusaha buat gak makin maju sampai akhirnya Chan bilang buat mundur karena bahaya yang depan mulai kegencet.

Aku bukan gak mau nurut, aku sudah coba mundur dan maksa yang di belakang  ikutan. Tapi gak bisa sekaligus karena ternyata yang di belakang juga kegencet si pembatas nanggung. Pengen mundur sendiri tapi aku gak punya keberanian menyibak keramaian dengan muka jutek bilang “minggir” kayak orang lain.

Di panggung Chan udah kehabisan kata-kata, dia ngambek dan mutusin walk out ke backstage diikutin yang lain. Panitia langsung ngumumin kalau mereka gak bakal perform kalau penonton belum kondusif. Mereka terus nyuruh mundur padahal gak tahu kalau kita bukan gak mau mundur, tapi memang kehalang sama si pembatas.

Keadaan makin parah pas mereka malah nyuruh penonton duduk, karena yang depan duduk, yang belakang juga duduk, yang ditengah-tengah kehalang pembatas makin kejepit karena kehabisan ruang buat duduk. Secara kalau duduk ruang yang dibutuhin tentu harus lebih luas kan. Suasana tetap gak kondusif sampai terdengar suara seorang perempuan mengambil alih suara dan bicara dengan memanggil sebutan para fans Stray Kids, “Stay! Stay Indonesia…” dilanjut dengan berbagai wejangan dan persetujuan agar tak menggunakan ponsel atau mengangkat banner saat Stray Kids tampi lagi.

Saat keadaan hening demi mendengarkan si Mbak hebat itu aku akhirnya mencari celah buat keluar dari tengah-tengah kerumunan tanpa spasi dengan bilang permisi mau ke toilet. Perjuangan nyelip sana sini berhasil dan aku beneran menyingkir ke sudut venue, memperhatikan ruang medis penuh banget dan beberapa petugas masih sibuk ngegotong penonton yang pingsan.

Begitu ada kesepakatan untuk menjaga ketertiban, penonton kembali berdiri dan Stray Kids tampil lagi. Tapi pasti kerasa lah kalau mereka terlihat terburu-buru buat nyelesin ‘kewajibannya’ perform. Ketika empat lagu di medley tanpa ada jeda ngobrol-ngobrol kayak performer sebelumnya, mereka langsung pamitan gitu aja pas selesai.

Setelah itu aku langsung ke toilet buat bersihin hidung yang berdarah. Karena capek, aku malah tepar di pintu Musala dan nelpon adekku buat nyusul ke sana. Dengan sangat terpaksa aku harus ngelewatin penampilan Tulus yang sebenernya jadi performer kedua yang aku tunggu-tunggu setelah Stray Kids.

Oke, dari cerita itu aku akuin kalau aku ngelakuin dua kesalahan. Pertama masuk ke bagian premium ‘tanpa sadar’. Terus ikut-ikutan ngangkat hp tinggi-tinggi di perform awal karena juga kehalang sama layar hp penonton depan. Jujur aku ngerasa bersalah dan baca banyak curhatan orang-orang di Twitter yang juga menyalahkan para penonton kelas free user yang merangsek ke depan. Salah gak salah, aku termasuk golongan itu dan ikut andil dalam keberdesakan penonton. Jadi aku bener-bener minta maaf.

Tapi, yang mau aku bahas adalah, apakah semua kejadian ini semata karena ketidaksiplinan penonton?

Jadi gini, ayo kita bahas dari segala sisi.

Pertama, 90% performance aku nikmatin di belakang. Sesuai kelasku sebagai free user. Apakah disana kondusif? Enggak, kita juga penuh -walaupun gak sesak- dan manner para penontonnya sama aja. Udah di belakang, mereka tetep main hp seenaknya. Pas antri penukaran tiket, antrian free user selesai lebih dulu karena jumlah penonton premium lebih banyak, bener-bener udah kayak 3x lipatnya. BANYAK BANGET. Kelihatan kok dari posisi pembatas gak jelas di venue yang diletakkan membagi ruangan 3/4-nya lebih banyak ke premium. Jadi terlepas hadir enggaknya penonton free user ke sana, wayahna penonton premium pasti jauh lebih sesak.

Selain itu, pas Stray Kids nyuruh mundur dan berakhir dengan panitia nyuruh duduk, kita yang tengah bener-bener jadi tumbal. Demi nyelamatin penonton depan, kita dianggap bandel gak mau mundur, padahal yang ada: KITA KEHALANG SI PEMBATAS NANGGUNG YANG JATOHNYA MALAH MALFUNGSI. Mau mundur lewat celah juga susah karena para penonton di belakang udah pada duduk semua dan menghabiskan ruang. BENERAN, KAN UDAH DI BILANG DI BELAKANG JUGA PENUH.

Jujur waktu itulah aku baru ngeh kalau kehadiran besi-besi pembatas ini buat misahin free sama premium. BENER-BENER PAS SAAT ITU. KARENA AKU TAHU FREE HARUS DI BELAKANG, TAPI AKU GAK TAHU KALAU DIALAH PEMBATASNYA. SEBELUMNYA GAK ADA PETUNJUK, GAK ADA PEMBERITAHUAN. Jadi tolong, yang semata-mata nyalahin free user seolah-olah maruk pengen ke depan, it’s not true. Kita beneran gak tahu.

Aku juga dapet cerita dari temen free user yang pas awal masuk berdiri ke depan karena gak tahu fungsi si batasan nanggung, ia dapat sindiran gak enak dari para penonton premium yang pongah banget udah punya kelas lebih tinggi. Like wow, I think free user’s price is more expensive than premium. Kelas kalian lebih ada benefit karena udah bayar demi menghilangkan iklan dan layanan lain dari spotify, sedangkan free user tetep ngasih pemasukan ke spotify dengan dengerin iklan. Pikir-pikir kalau semua pengguna alih kelas ke premium, yang ngiklan siapa yang dengerin dah. Kenapa gak ngingetin baik-baik sih anak-anak, gak usah bawa-bawa harga.

Kedua, pihak penyelenggara yang gak sigap dan ketahuan banget gak mempelajari karakteristik para penonton yang kira-kira bakal dateng. Kehadiran Stray Kids, mancing para penonton di bawah umur buat ikut dateng. Itu kenapa penyelenggara nyuruh buat bawa surat izin orang tua atau ajak pendamping kalau misalkan kamu dibawa umur. Aku pikir dengan itu kalian ngerti tentang karakter penonton yang akan datang gak jauh dari orang-orang yang  punya semangat 45, heboh, impulsif, spontan, punya ego tinggi, dan butuh ketegasan sejak awal karena mereka gak bisa ngambil keputusan sendiri alias cenderung ikut keputusan kelompok.

Apalagi ketika seseorang ada di kerumunan, karakter individu itu kayak melebur dan kegantikan sama karakter kerumunan yang biasanya berkumpul karena satu tujuan; yang kali ini adalah nonton. Apa tujuannya? Aku berani bilang kalau 90% tujuan utama para penonton remaja itu ya nonton Stray Kids. Makannya kerumunan masih bisa kondusif pas dua performance sebelumnya karena tujuan mereka belum sama; yang akan mereka tonton belum ada.

Ketika Stray Kids muncul dan mereka semua jadi punya satu tujuan, ya berebutan lah untuk bisa sedekat mungkin dengan tujuan mereka.

Jujur waktu itu aku juga kebawa ‘semangat’ kerumunan, apalagi muncul  ruang kosong  di bagian premium. Beneran loh, sebelum yang belakang ikut ke bagian premium, yang bagian belakang premiumnya aja udah ngebangun ruang kosong. Itu artinya, yang premiumnya aja merangsek ke depan.

Satu-satunya cara agar lepas dari ‘semangat’ kerumunan, ya sadari diri. Ambil kendali diri sebagai individu buat keluar dari kerumunan. Tapi apakah itu mungkin terjadi bagi penonton yang belum dewasa?

Itulah kenapa itu jadi tugas penyelenggara. Bukan tugas penonton lain yang dianggap bisa memobilisasi dengan menyuruhnya bicara ke atas panggung. Apalagi atisnya yang harus nyuruh-nyuruh penonton buat sadar diri kalau mereka ada dalam bahaya. Kejadian kemarin bener-bener nunjukin kalau penyelenggara sama sekali gak siap. Gak ada perencanaan yang baik, gak ada usaha mengenali penonton.

Dari awal mereka juga gak konsisten, soal tiket atau soal surat izin. Tiap orang beda jawabannya. Petugas di lapangan juga gitu, ada yang cerita kalau petugas bilang beda free sama premium ya cuma waktu masuk venue, pas di venue semua campur. Kan kesel, maksud pembatas nanggung itu apa kalau gitu.

Minum sama makanan juga disita, tapi atribut yang bisa ngehalangin pandangan orang enggak. Terus aku malah lebih setuju kalau penonton itu gak dibolehin ngerekam pakai hp, tapi harus pakai kamera. Pertama gak mungkin diangkat tinggi-tinggi, gak ngerekam lama-lama karena pegel, terus ngefilter juga orang-orang yang maksa ngerekam cuma demi likes di media sosial.

Kalau misal penyelenggara pengen punya rekaman eksklusif, ya larang aja dua-duanya. Kan hasil rekamannya juga bisa lebih bagus, nunjukin penonton yang fokus nonton tanpa maenin hp.

Oh ya btw, hidungku berdarah karena kegores setelah ketimpuk air minum yang dilempar dari sudut VIP. Gak ngerti lagi sama panitianya. Itu kan bahaya. Masih mending ngebaginya gak sambil dilempar-lempar. Mereka yang menyita minuman, mereka juga gak ngebaginya lagi. Orang-orang pingsan gak semata-mata karena kejepit keramaian. Tapi capek dan DEHIDRASI. Apalagi yang udah dateng dari pagi.

Kenapa gak buat larangan gak buang sampah di dalam venue aja?  Himbau buat bawa sampah yang dihasilkan sendiri sampai keluar venue, BERULANG-ULANG kalau perlu. Buat jaga-jaga sediain tempat sampai yang memadai di dalem. Bukannya menyita dan tak mengembalikan lagi Tumblr dan MAKAN MALAM SAYA PAK, BU. PENGEN MARAH TAPI TAHU MEREKA CUMA MENAJALANKAN TUGAS. Hsss kapitalisme #loh.

Salah seorang fansite luar yang dateng aja bilang kalau proses cek keamanannya itu BERLEBIHAN,  atau mun ceuk urang dieu mah, lebay.

PR penyelenggara banyak banget sih. Keluhan soal mereka tuh ada aja.  Apalagi kalau mereka emang niat ngadain lagi tahun depan, dan bawa idol Korea berbasis fans anak-anak remaja lainnya. Kalau gak belajar dari tahun ini sih sungguh keterlaluan namanya.

Nah, apakah aku menyesal ikut nonton kemarin?

Enggak.

Sejak awal aku emang mau nonton buat hiburan setelah mumet dengan banyak hal. Stray Kids emang jadi alasan pertama, tapi aku punya banyak alasan mengikuti. Percaya gak percaya nonton langsung penampilan Stray Kids setelah mereka kembali lagi dari backstage udah kayak kompensasi yang memadai dari segala hal yang udah dilewati. Saat itu aku nonton di bagian belakang dan ngerekam sekali aja pas ada confetti karena eatetis dan pengen mengabadikan. Sisanya aku full cuma nonton dan nikmatin penampilan mereka.

Tanpa bermaksud bias, aku harus akui kalau stage presence-nya Stray Kids kuat BANGET. Aku sempet lihatin para penonton VIP yang aku yakin gak semuanya tahu kpop sampai berdiri semua dan ikutan DIEM MENIKMATI. Beneran, fokus banget dari awal sampai akhir. Aura Stray Kids emang keluar dan mereka tuh energic banget. Lihat koreo mereka secara langsung sama lewat layar itu beda ternyata. Lebih menakjubkan aja.

Selain itu yang lebih penting, kejadian rusuh kemarin ngasih hikmah karena aku bisa lihat gimana sisi lain dari anak-anak ini. Yaitu, kepribadian dan profesionalisme.

Gini, kalau acara lancar, mereka tentu hanya menunjukan hal yang udah mereka latih sebelum naik panggung. Tapi dengan kejadian tak terduga yang gak menyenangkan, mereka butuh reaksi spontan dan mau gak mau jadi menyingkap  kepribadian mereka sebenarnya.

Wajah khawatir, ucapan dalam bahasa inggris buat utamain keselamatan, bahaya kalau terus ngerangsek ke depan dan tolong mundur demi kami, itu jelas gak masuk dalam latihan pas mereka mau manggung, tapi spontanitas mereka aja sebagai performer. Beberapa member yang gak fasih bahasa inggris bisik-bisik ke english speaker dan nunjuk posisi penonton yang mereka anggap bahaya.

Ini ngingetin aku sama Jae Day6 yang berhenti main musik tiba-tiba cuma buat nanya ke salah satu sudut penonton, karena ia kayak ngelihat ada yang pingsan. Itu spontanitas yang bikin aku salut karena sebagai anak-anak yang debut kemarin sore, Stray Kids udah punya empati itu dan mencoba berusaha meredam hal yang gak terduganya sendiri.

Sejak awal aku juga sebenernya kagum sama gaya kepemimpinan Bang Chan buat grupnya. Gak tahu kenapa aura kepemimpinan dia beda sama kepemimpinan leader grup lain. Dan waktu kemarin, kejadian gak terduga ini bikin aura itu jadi kuat banget. Saat dia berusaha mengkondusifkan penonton sampai akhirnya speechless sendiri dan ngajak temen-temennya buat kembali ke backstage. Sadar gak kalau itu bagian dari cara dia memimpin pertunjukan grupnya?

Sampai saat ini banyak cerita dan sudut pandang baru dari para penonton yang berbagi lewat sosmed. Aku selalu baca, dari yang marah-marah, emosi dan berapi-api, sampai yang ikhlas padahal udah keinjek-injek.

Tapi gimana pun hasilnya, semoga kejadian ini bisa membawa kebaikan dan hikmah buat semua orang. Karena meski gak sesuai ekspektasi, tetap ada pelajaran berharga buat semua orang yamg terlibat, entah penyelemggara, penonton, atau performernya.

🙂

 

(Repost dari tulisan saya pada tanggal 13 Oktober 2018)

Diposkan pada Abstrak, Sebuah Cerita

[Esensi] Paradoks Diri

Dari dulu, aku gak pernah ngerasa kalau aku bisa masuk dalam salah satu kotak.

Maksudku, aku udah berkali-kali mencoba untuk berbaur dengan berbagai orang dengan identitas sosial mereka. Entah itu para seniman, para ukhti-ukhti hijrah, kumpulan para pengusaha, para PNS dan karyawan sejati, sang idealis yang mengagungkan nilai, atau orang-orang yang menerapkan prinsip bodo amat. Dengan begitu, aku berharap aku bisa menemukan tempat pada salah satu kotak yang mereka tempati.

Tapi semakin banyak mencari, aku semakin bias dan merasa hilang sendiri.

Sewaktu kuliah, aku ikut UKM teater. Aku jadi satu diantara dua orang yang memakai jilbab dan satu-satunya yang merangkap sebagai anggota LDK. Aku bisa dengan masih menggunakan baju latihan olah tubuh, kemudian langsung ikut syuro LDK. Aku juga bisa latihan reading naskah di sekertariat yang campur baur antara perempuan dan laki-laki, lalu kemudian ikut liqo di Mesjid. Aku bahkan bisa ngamen dengan baca puisi keliling Kampung Betawi untuk pendanaan pentas, lalu kemudian bantu jualan kue untuk Danus kegiatan dakwah. Aku adalah orang yang setelah muter lagu K-Pop, langsung ke shuffle dengan lagu Maher Zein. Aku adalah orang yang nonton drama Korea, sekaligus juga video dakwah tentang musik itu haram.

Aku juga orang yang belajar banyak tentang usaha dan kewirausahaan, tapi kemudian tetap mengejar menjadi karyawan karena yakin tak begitu baik menghadapi ketidakpastian. Aku juga sangat mencintai kebebasan dan mencintai kreativitas, tapi pada akhirnya tunduk dengan rutinitas.

Aku merasa selalu bisa meraih dua kutub yang berlawanan, tapi tak mampu untuk tinggal di salah satunya.

Dan hal itu membuatku bingung. Bagaimana seharusnya aku bersikap, dan kemana seharusnya aku mengarahkan diri.

Aku tidak liberal, tapi juga tidak konservatif.

Karena itulah aku merasa sendiri, dan tak punya tempat berarti.

Barangkali aku masih mencari, dan berharap ada orang yang mengerti.